Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Terorisme Masih Terus Menjadi Ancaman, Berikan Filsafat sebagai Penangkal

20 Januari 2025   15:45 Diperbarui: 20 Januari 2025   12:44 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover Buku Teroris dan Agama karya Ilyasin dkk (Sumber: pdfdrive.to)

Salah satu tantangan bagi ketahanan nasional negeri ini di bidang ideologi maupun politik adalah bahaya terorisme. Meski intensitas dan frekuensi aksi terorisme sudah melandai, tetap saja ini menjadi bahaya laten yang mesti diwaspadai dan dicarikan langkah antisipasi.

Untuk melakukan antisipasi, kita perlu tahu dulu karakteristik orang macam apa yang terpapar dengan ajaran terorisme. Sesuai penelitian BNPT pada 2020, mereka yang terpapar ideologi terorisme ternyata merupakan orang-orang yang kurang memiliki daya pikir kritis. Menariknya lagi, penelitian antropolog Diego dan Steffen Hertog sebagaimana dikutip Bagus Laksana dalam Seminar “Membuka Cakrawala Toleransi” (22 September 2017) menunjukkan bahwa gerakan ekstremis lebih menggoda mereka yang berlatar belakang ilmu eksakta, terutama teknik. Pasalnya, mereka yang berlatar belakang eksakta itu berdasarkan fitrah ilmunya memang berorientasi pada kepastian, sehingga tidak memiliki ketahanan untuk bersikap terhadap ambiguitas (ketidakpastian) dan kompromi. Justru mereka terobsesi pada keteraturan, presisi,dan kepastian. Akibatnya, doktrin atau interpretasi teologis yang eksklusif, kaku, tapi memberikan kepastian dan pandangan hitam-putih gampang mereka cerna dan hayati.

Merujuk pada Ilyasin (Teroris dan Agama, Prenada, 2017), doktrin teologis yang diyakini pelaku aksi teror adalah teologi eksklusif. Yaitu, teologi yang memercayai bahwa kebenaran hanya ada pada kelompok mereka hingga menafikan mereka yang memiliki keyakinan berbeda, baik mereka yang beragama lain (antaragama) maupun di dalam satu agama dengan kerangka interpretasi teologis yang berbeda (intraagama)

Filsafat sebagai Ilmu Kritis

 Karena kurangnya daya pikir kritis untuk menyikapi perbedaan serta cara pikir murni eksakta merupakan variabel penting yang melemahkan imunitas orang terhadap ideologi terorisme, maka salah satu solusi kontraterorisme (melawan terorisme) adalah dengan menyebarluaskan pendidikan filsafat. Sebab, Filsafat merupakan disiplin ilmu yang membahas semua lapangan kenyataan secara komprehensif, radikal (sampai ke akar), dan kritis dengan menggunakan rasio atau nalar. Inti dari filsafat adalah bersikap kritis dan skeptis terhadap segala sesuatu. Filsafat tidak bersibuk mencari kesimpulan, tapi selalu mencari perbincangan dalam kecintaannya terhadap kebijaksanaan. Ini sesuai dengan asal-usul kata Yunaninya, philos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan).

Dengan membiasakan diri berfilsafat dan mempelajari pemikiran filsafat, orang akan akrab dengan perbedaan pendapat serta terbiasa memandang satu informasi atau permasalahan dari segala sudut pandang yang mungkin. Dia tidak akan mudah terperdaya oleh fakta permukaan. Melainkan, dia akan berupaya menembus realitas di balik fakta tersebut demi rasa cintanya terhadap kebijaksanaan.

Filsafat juga menjadi pelengkap yang baik bagi agama dan ilmu pengetahuan eksakta (sains). Agama adalah konsep yang membahas semua lapangan kenyataan, tapi landasan utamanya adalah wahyu atau kitab suci. Sementara, sains adalah disiplin yang membahas hanya sebagian lapangan kenyataan. Dengan demikian, keyakinan agama bisa mendapatkan justifikasi lebih kuat dengan rasio filosofis plus metode verifikasi dan falsifikasi sains, sementara sains akan kian kaya karena daya jangkau filsafat yang lebih luas.

Maka itu, penyisipan pemikiran-pemikiran para filsuf dalam kurikulum di semua jenjang pendidikan guna mencapai inklusi filsafat sangat penting sebagai bagian dari strategi besar (grand strategy) menangkal penyebarluasan ideologi terorisme. Semua siswa di Indonesia selepas SMU minimal sudah mesti berkenalan dengan pemikiran dasar para filsuf besar, seperti Plato dan Aristoteles (filsafat Yunani), Konfusius (Filsafat Tiongkok), Agustinus (filsafat Kristiani), Ibnu Rusyd (Filsafat Islam), Rene Descartes (Filsafat Prancis), Karl Marx (Filsafat Jerman), Soren Kierkegaard (eksistensialisme-religius), Thomas Kuhn dan Karl Popper (filsafat sains), dan Jurgen Habermas (filsafat kritis). Juga, dengan filsafat Indonesia seperti pemikiran Sukarno, Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka.

Harapannya, pengenalan itu akan mengasah daya pikir kritis dan membiasakan mereka menerima perbedaan dan merespons perbedaan—entah itu ideologi, agama, pilihan politik, dan lain-lain—dengan argumentasi rasional ketimbang kekerasan. Karena kekerasan adalah satu ciri utama dari tindakan terorisme, maka penggunaan nalar kritis dalam menyikapi perbedaan sebagaimana diajarkan filsafat otomatis dan secara alamiah akan menangkal infiltrasi ideologi terorisme ke dalam alam-pikir para pembelajar filsafat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun