Di tengah-tengah cuaca ekstrem yang menimbulkan banyak bencana alam seperti banjir dan angin badai, ada saja pihak-pihak yang justru ibarat menabur garam di atas luka. Misalnya saja, terpantau di media sosial ada warganet yang mengaitkan kedatangan bencana alam semata sebagai azab. Kalau dalam istilah bahasa Inggris, inilah sikap holier-than-thou alias merasa paling benar sendiri.
Fenomena ini memprihatinkan karena mengesankan betapa warga negeri ini minim empati terhadap nasib sesamanya. Di sisi lain, anggapan seperti itu ternyata merupakan bagian dari diskursus publik yang cukup beruratakar terkait bencana.
Diskursus agama vs kemanusiaan
Misalnya, penelitian Suhadi Cholil dan Emy Ruby (“Agama atau Manusia?” dalam Konstruksi Masyarakat Tangguh Bencana, Mizan, 2012) menemukan bahwa ada dua diskursus publik yang mengemuka di media sosial terkait bencana alam, khususnya gempa. Pertama, diskursus agama. Inilah bentuk diskursus yang memiliki sejumlah ciri, dengan ciri utama berupa narasi hukuman atas kekafiran atau bisa juga narasi hukuman atas dosa. Artinya, bencana terjadi karena dosa dari manusia tempat bencana itu terjadi. Singkat kata, bencana adalah azab dari Tuhan.
Ciri lain dari diskursus agama seperti ini adalah menganggap pelayanan kemanusiaan sebagai media perusakan akidah dan ‘dakwah terselubung’. Akibatnya, kelompok kemanusiaan dipersepsikan sebagai berbahaya. Timbullah semacam resistensi dari sejumlah kalangan terhadap layanan bantuan.
Kedua, diskursus kemanusiaan. Boleh dibilang ini menjadi diskursus tandingan terhadap diskursus agama. Ciri dominan dari diskursus kemanusiaan terkait bencana adalah narasi sains. Faktor “patahan geologi,” “samudera”, “pemanasan global” dan “lempeng bumi menjadi diskursus utama". Ciri lainnya adalah menganggap pemberian bantuan sebagai naluri dasar manusia untuk menolong sesama. Ciri “naluri” ini sekaligus ingin menandingi ciri “kecurigaan atas bahaya bantuan kemanusiaan” yang dianut diskursus agama terkait bencana alam. Jadi, diskursus agama menganut prinsip “bantuan sebagai wilayah kepentingan,” sementara diskursus kemanusiaan memegang prinsip “bantuan sebagai wilayah kemanusiaan.”
Kalau kita lihat dua diskursus di atas, terlihat adanya polarisasi yang cukup dalam dan sampai sekarang justru kian menguat di media sosial. Artinya, polarisasi ini kemungkinan akan semakin membesar di masa depan dan kian mencemaskan mengingat Indonesia adalah negeri rawan bencana dengan kekerapan kejadian yang tinggi. Kita pun lantas membayangkan betapa energi negeri ini akan terkuras dari waktu ke waktu oleh ragam kontroversi seputar pernyataan dan tindakan sesama warga terkait bencana menyusul benturan dua diskursus terkait bencana ini.
Oleh karena itu, dialog tatapmuka antara dua perwakilan diskursus ini harus senantiasa dilakukan. Dialog tatapmuka antara tokoh-tokoh otoritatif dari dua diskursus akan menghilangkan elemen anonimitas di media sosial, di mana anonimitas memang sering membuat manusia merasa lebih bebas untuk berkata-kata di luar batas kepantasan dan kepatutan etika. Perwakilan diskursus agama, misalnya, seyogianya bisa menunjukkan keterbukaan pikiran untuk menerima analisis-analisis sains (ilmiah) terkait penyebab suatu kejadian bencana.
Di sisi lain, perwakilan diskursus kemanusiaan juga harus menampilkan keterbukaan untuk mendengarkan keberatan-keberatan dari diskursus agama terkait isu “dakwah terselubung” dan melakukan langkah klarifikatif-korektif yang diperlukan. Apabila dialog penuh ketulusan ini bisa dilakukan, niscaya kita semua sebagai warga negara bisa menata langkah lebih baik ke depan dalam mengantisipasi bencana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H