Belakangan ini, sejumlah daerah mengalami masalah pengendalian populasi anjing liar atau acap dikenal sebagai "anjing kampung." Pasalnya, anjing-anjing liar itu tentu dikhawatirkan ada yang mengidap rabies dan menularkannya kepada manusia. Atau, ada ketakutan bahwa anjing itu akan bersikap galak dan menggigit manusia.
 Penanganan masalah ini juga kian diperumit dengan fakta bahwa Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia memiliki persepsi negatif tentang anjing. Karena air liur anjing itu tergolong najis menurut sejumlah hadis sahih, maka otomatis anjing juga tergolong sebagai hewan najis yang harus dijauhi. Maka itu, anjing kerap dilempari batu atau dipukuli, minimal dihindari. Padahal, Islam adalah agama yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan hak lingkungan, termasuk di dalamnya hak untuk menjaga hewan seperti anjing.
 Karena itu, kita rasanya perlu membincang ulang perspektif agama Islam tentang anjing ini. Tujuannya guna membantu upaya pemecahan masalah pengendalian populasi anjing liar dengan cara-cara yang bermartabat.
 Apabila kita telaah lagi, sungguh menarik bahwa ternyata cukup banyak sumber-sumber dalam Islam yang memuliakan anjing. Pertama, di dalam Alquran kita mengenal kisah para pemuda yang bersembunyi di dalam gua atau kisah Ashabul Kahfi. Dalam kisah itu, diceritakan bahwa para pemuda Ashabul Kahfi itu ditemani oleh seekor anjing yang setia.
 Kedua, kita tentu mengenal hadis sahih populer yang menceritakan betapa seorang pelacur yang baru bertaubat kemudian meninggal dunia ternyata bisa masuk surga karena Allah berkenan atas amal baik terakhir sang pelacur yang memberikan minum kepada seekor anjing yang kehausan.
 Ketiga, ternyata tidak semua mazhab fikih mengkategorikan air liur anjing sebagai najis. Berbeda dari mazhab Syafii dan Hambali yang menyatakan bejana yang terkena jilatan anjing mesti dibasuh sebanyak tujuh kali---satu kali di antaranya dengan tanah---mazhab Maliki menyatakan bahwa bejana yang dibasuh tujuh kali jika terkena jilatan anjing bukanlah karena najis, melainkan karena taabbud atau beribadat (Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Penerbit Lentera, 1999, hlm. 11).
 Keempat, merujuk kepada cendekiawan Islam kontemporer, Khaled Abou El Fadl (dalam Jamal Rahman, Spiritual Gems of Islam, Skylight, 2013), ternyata Nabi Muhammad SAW sering kedapatan menunaikan salat dengan anjing-anjing berkeliaran dalam jarak tak terlalu jauh dengan beliau. Artinya, anjing tidak dikategorikan sebagai sesuatu yang bisa mengganggu kekhusyukan maupun penunaian sah suatu ibadah.
Jalan tengahÂ
 Tentu keempat poin di atas bisa memantik kontroversi mengingat perspektif yang menganggap anjing itu sebagai hewan najis yang patut dijauhi juga memiliki rujukan pada sumber-sumber yang kuat dan sahih. Namun demikian, sungguh di luar nalar penulis jika Islam kemudian menganjurkan kita untuk membiarkan hewan-hewan yang relatif jinak seperti anjing liar dibiarkan terlunta-lunta di jalanan dan mengalami nasib mengenaskan, seperti: kelaparan, terlindas kendaraan, dilempari, dan lain sebagainya. Sebab, sekali lagi, Islam adalah agama perdamaian yang sangat menjunjung tinggi pemeliharaan lingkungan dan alam semesta, termasuk pemeliharaan hewan.
Oleh karena itu, umat Islam perlu mengambil jalan tengah soal pemeliharaan anjing liar ini. Pertama, bersama-sama komunitas atau lingkungan sekitar kita lewat mekanisme iuran, misalnya, kita dapat membawa anjing-anjing liar itu ke dokter hewan untuk dinetralkan (neutered) supaya tidak terjadi pembuahan dan lahirnya anak-anak anjing baru. Sebab, seperti kucing, anjing adalah jenis hewan yang gampang beranak-pinak sehingga populasinya bisa meningkat pesat. Kemudian, anjing-anjing liar itu perlu divaksin juga guna menghindari mereka mengidap penyakit menular berbahaya, seperti rabies.