Meski tidak seheboh ketika baru diluncurkan beberapa tahun lalu, industri Metaverse terus berkembang. Data terbaru menunjukkan pasar Metaverse diproyeksikan akan mencapai $936,57 miliar pada 2030 (fxmweb.com). Sebagai informasi, Metaverse sendiri adalah produk dunia mayantara (cyberspace) yang menyediakan ruang virtual di mana manusia bisa masuk ke dalamnya alih-alih hanya melihat layar. Dalam Metaverse, orang-orang dapat bekerja, bertemu, bermain, dan lain sebagainya dengan menggunakan beraneka perangkat seperti headset realitas virtual, kacamata augmented reality, dan yang sejenis. Â
Akan tetapi, terlepas dari potensi ekonominya yang luar biasa besar, manusia secara filosofis juga harus mewaspadai potensi bahaya dari metaverse berupa penundukan manusia di bawah kuasa rasio instrumental.
Banyak kalangan terus merayakan kedatangan Metaverse sebagai hal positif di alaf baru yang membawakan potensi-potensi luar biasa bagi umat manusia. Sebagai contoh, Metaverse dapat menjadi lahan bisnis baru bagi para pengusaha digital (digipreneurs) sehingga dapat memperluas lapangan pekerjaan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Metaverse juga dapat memudahkan orang mendapatkan akses ke berbagai hal tanpa terpengaruh dimensi ruang dan waktu, seperti akses pendidikan
ke institusi-institusi bergengsi, akses budaya untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan bermacam
kemudahan akses lainnya.
Namun di sisi lain, jika kita lihat secara filosofis, Â perkembangan Metaverse bisa menjadi pertanda datangnya senjakala rasio manusia berupa kemenangan rasio instrumental yang mendehumanisasi atau menghilangkan fitrah dari manusia itu sendiri. Ini terutama jika kita meminjam kerangka teori dari filsafat Mazhab Frankfurt.
Menurut filsuf pelopor aliran Mazhab Frankfurt, Max Horkheimer, dominasi kapitalisme berorientasikan laba maksimal di dunia telah melunturkan kebebasan individu. Individu terserap dalam sentralisasi perencanaan kapitalisme monopolis dan menjadi atom-atom dalam seluruh sistem (lihat Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, Gramedia, 2019). Horkheimer lantas membedakan keindividuan manusia menjadi dua. Pertama, keindividuan sebagai self development. Inilah tipe keindividuan yang mengandaikan manusia sebagai pribadi yang bisa berkembang menjadi manusia seutuhnya dengan identitas solid.Â
Kedua, preservation development, yaitu perkembangan individu yang digerus maknanya menjadi semata-mata atom yang berfungsi untuk sekadar hidup dalam seluruh sistem. Dalam keindividuan preservation development, rasio manusia menjadi sekadar rasio
instrumental. Itulah rasio yang diabdikan guna melestarikan sistem kapitalis lewat pencarian metode untuk memaksimalkan pemenuhan hasrat akan laba, utamanya zaman sekarang ini lewat teknologi.
Akibatnya, teknologi menjadi perpanjangan tangan dari rasio instrumental untuk mengembangkan sistem kapitalis global. Teknologi menjadi ideologi dan manusia pun tereduksi menjadi sekadar alat penghasil laba. Muncullah istilah bahwa manusia dengan rasio instrumental ini menjadi makhluk yang satu dimensi.
Dari pendapat Mazhab Frankfurt ini, kita bisa melihat bahwa Metaverse yang sudah menjadi mesin ekonomi baru adalah produk rasio instrumental manusia yang ingin mencari lahan baru guna memaksimalkan laba. Padahal, realitas virtual ini akan mengikis identitas manusia menjadi pribadi yang terfragmentasi atau tidak memiliki identitas yang solid. Bagaimana bisa solid jika di Metaverse mereka
bisa memiliki kehidupan lain layaknya permainan role-playing game (RPG)? Manusia menjadi anonim dan ini secara sosiologis bisa mengubah manusia menjadi pribadi yang anomie alias tidak lagi memiliki pegangan nilai sehingga mereka justru berpotensi melakukan tindak kriminal atau perilaku tidak etis di Metaverse.
Indikasi ini dikonfirmasi oleh temuan bahwa kasus pelecehan seksual (sexual harassment) sudah mulai terjadi di Metaverse (New York Times, "The Metaverse's Dark Side, Here Come Harassment and Assaults", 30 Desember 2021).