Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mau Ketahanan Pangan Kita Cihuy, Belajar dari Suku Baduy

17 Januari 2025   17:42 Diperbarui: 17 Januari 2025   17:42 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Masyarakat Baduy (Sumber: pelita.co.id)

Akhir-akhir ini, terutama akibat tekanan harga di tengah terjun bebasnya nilai nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan konflik kawasan, masyarakat Indonesia kelimpungan menyiasati anggaran belanja untuk memenuhi kebutuhan pangan. Pasalnya, harga-harga kebutuhan pokok melesat lepas kendali mengingat banyak kebutuhan pokok pangan kita tergantung pada impor, seperti gandum yang datang dari Ukraina. Harga-harga pun kemungkinan akan merangkak naik lagi karena kita akan memasuki bulan puasa dan Idul Fitri sebentar lagi di bulan Februari-Maret.

Tak pelak, ini kian mengindikasikan ketahanan pangan yang kian genting di masa depan. Pasalnya, permintaan pangan bakal terus meningkat pesat akibat sekurangnya dua hal. Pertama, sebagai antisipasi meningkatnya ketidakpastian pasokan akibat hal-hal seperti bencana alam. Taruhlah seperti anomali iklim belakangan ini yang membuat panen sulit diprediksi.

Kedua, pangan menjadi objek spekulasi. Ini terjadi ketika perekonomian negara-negara maju melambat dan pasar finansial global lesu. Dana yang sebelumnya beredar di sektor finansial kini mencari obyek investasi baru untuk kemudian menemukan
komoditas pangan sebagai obyek spekulasi yang menggiurkan.

Jadi, jika kita tidak waspada, sejumlah faktor di atas bisa membuat kita semua sebagai bangsa gagal untuk memperkuat ketahanan pangan secara sistematis. Oleh karena itu, mengingat kita memiliki  sejumlah khazanah kearifan lokal (local wisdom) yang ampuh, sudah saatnya kita menggali hikmah-hikmah budaya yang dapat menjadi piranti ampuh untuk menghalau bahaya darurat pangan.

Leuit

Adapun salah satu kearifan lokal yang memiliki kekuatan relevan untuk memperkuat ketahanan pangan kita adalah kearifan masyarakat Baduy, utamanya terkait konsumsi beras. Menurut Andreas Maryoto dalam Jejak Pangan (2006), penduduk Baduy masih mempertahankan lumbung pangan  bernama leuit sebagai pranata ketahanan pangan. Kepemilikan lumbung ini dibagi menjadi dua macam: lumbung bersama yang diisi gabah dari hasil padi yang ditanam secara bersama-sama dan lumbung keluarga sebagai lumbung keluarga tertentu yang diisi gabah dari hasil budidaya masing-masing penduduk.

Yang menarik dari kearifan Baduy ini adalah leuit menerapkan banyak hari pantangan bagi penduduk untuk menarik gabah. Untuk itu, penduduk harus memperkirakan jumlah kebutuhan gabah, termasuk kalau mau mengadakan pesta. Dengan kata lain, hal ini akan memperkuat swasembada pangan karena orang Baduy harus melakukan pengaturan sendiri secara cermat kebutuhan mereka supaya
makanan tidak cepat habis. Kondisi gabah pun lebih awet karena kondisi leuit tentu jarang terbuka akibat pantangan-pantangan tadi, sehingga meminimalkan potensi serangan serangga atau hewan lainnya menyerbu dan merusak gabah di dalam leuit.

Selain itu, masyarakat Baduy punya keyakinan bahwa memberi itu lebih baik dari diberi. Artinya, masyarakat Baduy berupaya memiliki gabah yang cukup supaya mereka tidak perlu mengundang iba dan bantuan dari sesama warga Badui.  

Sedikitnya ada dua hikmah yang bisa menjadi inspirasi bagi kita untuk membuat ketahanan pangan kuat alias cihuy. Pertama, manusia perlu menjadi perencana yang rasional dan cermat dalam menata kebutuhan pangannya masing-masing. Apabila kebutuhan mereka akan satu komoditas, katakanlah beras, sulit tercukupi oleh stok yang ada, maka manusia bisa melakukan diversifikasi pangan dengan beralih ke bahan makanan lain seperti: singkong, kentang, dan lain sebagainya. Jadi, kita jangan terlalu tergantung pada satu komoditas sehingga repot harus mencari sumber impor tatkala kebutuhan kita sulit terpenuhi. Padahal, impor itulah salah satu biang keladi mengapa harga pangan bisa begitu tak terkendali saat ini.

Kedua, manusia harus menahan keserakahan konsumtif yang ada dalam diri mereka. Kita perlu mengingat bahwa makan itu untuk hidup, bukan hidup itu untuk makan, sebagaimana diajarkan masyarakat Baduy. Maksudnya, kita harus mulai menyantap segala sesuatu dalam takaran secukupnya. Ini bukan karena kita pelit, melainkan karena kita sadar perlunya menghindari kemubaziran komoditas pangan yang bisa membahayakan ketahanan pangan.
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun