Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memperbaiki Sistem Politik Pasca Penghapusan Parliamentary Threshold

17 Januari 2025   10:58 Diperbarui: 17 Januari 2025   09:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana rapat paripurna DPR (Sumber: antaranews.com)

Dunia politik kita akan banyak berubah pada 2029. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menghapuskan dua ambang batas (threshold) dalam sistem demokrasi kita. Di awal 2025, MK menghapuskan presidential threshold 20 persen dengan putusan MK No.62 tanggal 2 Januari 2025. Sebelumnya, di pertengahan 2024, MK mengabulkan gugatan Perludem untuk menghapuskan parliamentary threshold 4 persen bagi partai-partai politik peserta pemilu, yang akan berlaku pada pemilu berikutnya di 2029. Salah satu alasannya, PT itu membuat banyak suara rakyat terbuang (wasted votes) sehingga bertentangan dengan asas kedaulatan rakyat. MK pun memutuskan bahwa pemerintah bersama DPR harus menggodok aturan pemilu baru yang mengakomodasi penghapusan PT ini.

Parliamentary threshold

Terkait penghapusan parliamentary threshold, ini sebenarnya masih mengejutkan karena parliamentary threshold selama ini dianggap sebagai salah satu sarana untuk membatasi jumlah partai politik di DPR. Perlu diingat bahwa banyaknya jumlah partai atau realitas multipartai sesungguhnya berpotensi memicu ketidakstabilan politik ketika digabungkan dengan sistem presidensial murni yang dianut Indonesia. Merujuk Scott Mainwaring dalam "Presidentialism, Multipartism, and Democracy" (1993), hanya 4 dari 31 negara demokrasi stabil yang memiliki sistem presidensial. Bahkan, dari 4 negara itu, hanya satu yang berkombinasi dengan sistem multipartai, yaitu Cile, itu pun hanya bertahan dari 1933 ke 1973. Alasannya, kesulitan menghasilkan kekuatan mayoritas partai yang menguasai parlemen menjadikan sistem multipartai rentan menghasilkan polarisasi ideologis. Juga, koalisi permanen antarpartai lebih sulit dibentuk.

Karena itu, penghapusan parliamentary threshold sejatinya mementahkan kembali upaya untuk mengerucutkan jumlah partai dan memapankan kestabilan politik. Padahal, dengan parliamentary threshold 4 persen saja, rata-rata 8-9 partai selama ini berhasil lolos ke DPR pusat, yang artinya tetap menghasilkan realitas multipartai yang tidak kompatibel dengan sistem presidensial. Namun, alih-alih mempertinggi parliamentary threshold demi menyederhanakan jumlah partai, kita justru menihilkannya. Kabar terbaru, mulai muncul wacana untuk mematok PT menjadi 1 persen saja.

Namun, realitas tentu harus diterima. Yang perlu menjadi fokus saat ini adalah bagaimana menindaklanjuti penghapusan parliamentary threshold demi memperbaiki sistem politik kita supaya lebih stabil.

Konsekuensi

Perlu diketahui bahwa secara realpolitik, penghapusan parliamentary threshold dapat membawa konsekuensi bagi sejumlah wacana terkait desain ideal sistem politik kita ke depan. Pertama, ini akan memengaruhi wacana untuk mendanai partai politik dari APBN. Alasan di balik pendanaan ini adalah supaya partai tidak terjebak ke dalam politik uang yang menghalalkan segala cara sebagaimana terlihat dalam pemilu-pemilu sebelumnya. Jika partai bisa sepenuhnya didanai oleh pemerintah melalui APBN, partai tentu tidak perlu bermanuver untuk mencari sumber daya finansial demi membiayai kegiatan operasionalnya.

Sayangnya, dengan penghapusan parliamentary threshold, jumlah partai tentu akan bertambah banyak. Artinya, akan semakin banyak pula jumlah anggaran yang diperlukan untuk membiayai partai-partai tersebut. Padahal, di tengah banyak program penyedot besar anggaran lainnya, seperti program makan bergizi gratis dan ibukota nusantara (IKN), program pendanaan partai tentu akan menjadi problematik di mata publik. Dengan kata lain, program pendanaan yang dirancang untuk mengikis politik uang di tubuh parpol ini menjadi tidak realistis untuk diterapkan pada pemilu 2029.

Kedua, kondisi tidak ideal realitas multipartai yang berhadapan dengan sistem presidensial tetap harus dicarikan solusi. Sungguh akan semakin tidak ideal jika seorang Presiden harus berhadapan dengan lebih dari 10 partai di DPR, sebagaimana yang berisiko terjadi ketika parliamentary threshold dihapuskan. Kita harus memberikan semacam pintu keluar (exit door) bagi akomodasi parpol kecil sekaligus penyederhanaan relasi Presiden -- DPR. Salah satu pintu keluar yang bisa dilakukan adalah mengharuskan partai-partai kecil untuk menggabungkan diri dalam satu fraksi di DPR yang memenuhi kira-kira 4 persen parliamentary threshold seperti saat ini. Jika dikonversikan, 4 persen parliamentary threshold itu setara dengan sekitar 14 kursi. Jadi, satu fraksi minimal harus beranggotakan minimal 14 kursi dari berbagai partai kecil. Dengan begini, seorang Presiden hanya perlu menghiraukan hubungan dengan fraksi-fraksi di DPR, bukan dengan partai politik.

Preseden sejumlah partai menggabungkan diri dalam satu fraksi di DPR pusat sudah ada ketika pada DPR periode 2004 -- 2009 sejumlah partai kecil berinisiatif membentuk fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (BPD) yang terdiri dari Partai Bulan Bintang (PBB, 11 kursi), Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK, 4 kursi), Partai Pelopor (3 kursi), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI, 1 kursi), dan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaen, 1 kursi). Penggabungan seperti ini pun sudah jamak terjadi di tingkat DPRD hingga saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun