Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ekologi-dalam dan Bencana Alam

16 Januari 2025   22:13 Diperbarui: 16 Januari 2025   22:13 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penggagas ekologi-dalam Arne Naess (Sumber: bergensia.com)

Menjelang akhir 2024 dan memasuki 2025, dunia langsung tersentak oleh rentetan bencana alam di mana-mana, mulai dari angin besar yang memorakmandakan banyak tempat tinggal sampai paling terbaru kebakaran besar di Los Angeles, Amerika Serikat. 

Secara umum, inilah buah buruk dari anomali iklim yang disebabkan oleh pemanasan global (global warming).  Pemanasan global sendiri terjadi karena ulah manusia yang ingin memuaskan hasrat ekonominya secara tak terkendali lewat pembangunan industri besar-besaran yang mengepulkan karbon tinggi hingga memanaskan suhu bumi.  Kita bisa mengatakan perubahan iklim terjadi karena penerapan ekonomi berkarbon tinggi bersendikan prinsip pasar bebas yang serakah. Ekonomi inilah yang menurut majalah National Geographic melepaskan 16.000 kilometer kubik karbon ke atmosfer per tahun. Ini dikuatkan dengan data dari International Energy Agency (IEA) yang menunjukkan bahwa emisi karbon ekonomi industri pada 2022 mencapai 36,8 gigaton!

Berbagai solusi praktis sudah berupaya ditempuh oleh komunitas global, mulai dari peralihan konsumsi energi dari fosil ke listrik hingga perdagangan karbon (carbon trading). Namun, masyarakat dunia memerlukan juga solusi mendasar secara filosofis berupa pengadopsian paradigma baru mengenai relasi antara manusia dan alam mesti dirumuskan. Salah satunya, kita bisa menengok satu etika lingkungan bernama ekologi-dalam atau deep ecology.

Ekologi-dalam

Menurut perintis etika ekologi-dalam Arne Naess di jurnal "The Shallow and the Deep, Long Range Ecology Movement: A Summary" (University of Oslo, 1973), ekologi-dalam meyakini berbagai komponen alam itu saling berkaitan, termasuk komponen paling kecil sekalipun. Kemudian, ekologi-dalam meyakini prinsip biospherical egalitarianism alias kesetaraan biosferikal. Inilah prinsip bahwa komponen alam selain manusia adalah entitas yang setara sehingga sama-sama harus dihormati dan dijaga kepentingannya.

Artinya, manusia harus menggeser cara pandangnya dari berpusat hanya pada kepentingan manusia (antroposentrisme) menjadi berpusat pada kepentingan alam secara luas (biosentrisme). Dengan kata lain, manusia tidak boleh semena-mena mengeksploitasi alam demi kepentingan ekonomi dan keberlangsungan hidupnya semata. Ada hajat hidup makhluk lain yang harus diperhatikan manusia. Kalau tidak, maka manusia yang memiliki fitrah egois dan serakah condong menguras habis-habisan alam demi kepentingan sempitnya semata. Hasilnya adalah kerusakan alam besar-besaran yang berujung pada pemanasan global dan berbagai bencana alam. Akibatnya, tidak cuma manusia yang mengalami penderitaan akibat bencana alam, tapi juga semua makhluk lain.

Karena itulah, etika ekologi-dalam menyatakan demi keselamatan dirinya sendiri dan makhluk-makhluk lain, sudah saatnya manusia mencampakkan perspektif pemanfaatan lingkungan yang egosentris hanya mengutamakan kepentingan sempit manusia. Gantinya, manusia harus mengadopsi cara pandang yang berpusat pada kepentingan alam secara luas serta mewujudkan paradigma baru itu lewat cara-cara konkret.

Menurut saya, kita di Indonesia bisa ikut menerjemahkan etika ekologi-dalam secara konkret sebagai berikut. Pertama, kita bisa mengikuti saran filsuf Fritjof Capra untuk melakukan ecoliteracy, yaitu strategi untuk menggerakkan masyarakat luas agar bisa memeluk secepatnya pola pandang baru atas realitas kehidupan bersama mereka di Bumi dan melakukan pembaruan-pembaruan yang diperlukan (Jalan Paradoks, Teraju, 2004). Caranya adalah mulai memasukkan pendidikan lingkungan sebagai mata ajar wajib sejak sekolah dasar. Sekolah akan menjadi sarana efektif untuk menanamkan perspektif biosentrisme sejak dini. Selain itu,
sekolah bisa membekali anak didik dengan cara-cara praktis merawat lingkungan. Dalam mata ajar ecoliteracy ini, siswa juga bisa dibekali pendidikan siaga bencana banjir sebagaimana siswa sekolah di Jepang akrab dengan pendidikan siaga gempa.

Kedua, pemerintah bersama-sama masyarakat dapat kian menggalakkan berbagai kampanye tentang aktivitas-aktivitas kecil maupun besar yang potensial mengurangi kerusakan lingkungan, seperti: perbaikan transportasi umum supaya masyarakat meninggalkan kendaraan pribadi, kampanye mengurangi sampah plastik dan meninggalkan perilaku membuang sampah
sembarangan, memberikan insentif fiskal bagi produk-produk ramah lingkungan, menggalakkan proyek-proyek energi berbahan bakar nonminyak, menunda izin bagi proyek-proyek baru konstruksi minim manfaat sosial yang merusak struktur lingkungan, dan lain sebagainya.

Akhirulkalam, mafhumlah kita bahwa deretan bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini sebagian besar diakibatkan oleh ulah manusia sendiri. Karena itu, manusia harus lebih arif menjaga alam berbekal etika lingkungan ekologi-dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun