Tak bisa dimungkiri, Indonesia saat ini sedang menjalankan pembangunan fisik yang sangat pesat. Akan tetapi, proses pembangunan di Indonesia itu ternyata belum berhasil mengangkat derajat rakyat Indonesia secara keseluruhan. Sebagai contoh, meski angka kemiskinan di Indonesia mencapai 24,06 juta orang pada September 2024, turun 0,79 persen dibandingkan Maret 2023, kesenjangan sosial justru semakin lebar (Kompas.id, 16/1/2025). Secara objektif, ini dibuktikan dari rasio gini, indikator tingkat ketimpangan, yang meningkat 0,0002 dari 0,379 pada Maret 2024 ke 0,381 pada September 2024. Â
Artinya, proses pembangunan selama ini ternyata belum membawa manfaat luas bagi segenap rakyat Indonesia. Ini ironis karena model pembangunan yang dicita-citakan Pancasila sesungguhnya adalah 'pembangunan berkemanusiaan'.
Berpusat pada manusia
Model pembangunan Pancasila merupakan kritik tajam terhadap laju ekonomi kapitalisme neoliberal, yang secara praktik berjalan di Indonesia dengan keterbukaan terhadap modal asing dalam sektor privat maupun publik. Padahal, ekonomi pasar kapitalistis menganut prinsip utama bahwa segala sesuatu harus dikuasai dengan mereduksinya ke dalam satu keseluruhan produk yang bisa dimatematisasi, diformalisasi, serta dimanipulasi melalui proses kerja untuk mendapatkan nilai tambah menuju pertumbuhan (Soerjanto Poespowardojo, Pembangunan Nasional dalam Perspektif Budaya, Gramedia, 1992).
Efek buruknya, kapitalisme menjadi sistem ekonomi mandiri yang mencari keuntungan sebesar-besarnya, melaksanakan akumulasi modal untuk mengkonsentrasikan kekuatan, menjalankan ekspansi usaha ke hulu dan ke hilir dalam bentuk monopolistis, dan dilengkapi dengan manajemen rasional plus teknologi canggih guna menciptakan sistem yang kian efektif dan efisien. Kemudian atas nama efisiensi, terjadilah eksploitasi tenaga kerja dan pemiskinan (proletarisasi) manusia. Manusia di dalam sistem ekonomi kapitalis direduksi menjadi sekadar fungsi, objek, dan bahkan komoditas tenaga kerja yang siap "diperdagangkan".
Dengan kata lain, mantra "pertumbuhan" ekonomi kapitalis membuat harkat dan individualitas manusia terbenamkan atas nama agregasi kapital dan akselerasi pertumbuhan yang hanya menjanjikan efek menetes ke bawah (trickle down effect) demi menenangkan rakyat. Padahal, rakyat persis hanya menikmati "tetesan", sementara para kaum elit kapitalis menikmati potongan kue ekonomi secara berlebihan. Akibatnya, mengutip B. Herry Priyono (Ekonomi Politik, Penerbit Kompas, 2022), ekonomi kapitalis gagal memenuhi esensi dasar ekonomi sebagai urusan mata pencaharian (livelihood) atau sumber daya pemenuhan kebutuhan hidup.
Model pembangunan Pancasila mengajukan 'pembangunan berkemanusiaan' sebagai alternatif. Dalam model ini, pembangunan adalah proses humanisasi yang meliputi segenap aspek kehidupan manusia. Usaha pembangunan secara sadar harus mengarah pada pencapaian pertumbuhan maupun pada perwujudan kehidupan demokratis yang berkeadilan, seimbang dan selaras antara manusia dengan sesama dan lingkungan hidupnya.
Jadi, manusia bukan sekadar pelaksana, melainkan tujuan pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan sebagai usaha meningkatkan taraf hidup masyarakat harus membuka jalan bagi setiap warga untuk berkembang sebagai manusia sesuai dengan bakatnya dan keputusan yang diambilnya secara bebas.
Secara konkret, filosofi di atas mewujud dalam model pembangunan yang berpusat pada manusia (people-centered). Inilah model yang mengutamakan pemberdayaan (empowerment) di mana pemerintah berperan sebagai fasilitator untuk menciptakan lingkungan sosial yang lebih mendorong perkembangan dan aktualisasi potensi manusia (Drajat Tri Kartono, Konsep dan Teori Pembangunan, Pustaka Pelajar, 2016). Jadi, indikator pertumbuhan ekonomi dalam model pembangunan Pancasila bukanlah fokus utama. Melainkan, bagaimana hubungan manusia dengan sumber daya bisa berjalan secara harmonis, di mana manusia memiliki kreativitas tinggi dalam mengolah sumber daya alam sembari memiliki komitmen akan solidaritas antarmanusia (pemerataan) dan pelestarian lingkungan. Ini sesuai dengan pasal 33 ayat (4) UUD 1945 bahwa "perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional".
Kebijakan konkret