Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bencana Masih Banyak Terjadi, Teologi Ramah Lingkungan Islam Bisa Memberi Solusi

16 Januari 2025   15:47 Diperbarui: 16 Januari 2025   14:17 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebakaran besar di Los Angeles pada 8 Januari 2025 lalu (Sumber: Ingrisk.co.id)

Pada dasawarsa kedua abad ke-21 ini, dunia masih berjuang menghadapi ancaman eksistensial besar bernama krisis lingkungan alam, termasuk bencana banjir, longsor, angin beliung, dan cuaca panas ekstrem.  Paling terbaru, cuaca panas memicu bencana kebakaran besar di Los Angeles pada 8 Januari 2025 lalu tatkala angin kencang beserta cuaca panas membuat dahan-dahan di hutan sekitar daerah bencana bergesekan hingga menimbulkan api.

Sesungguhnya, beraneka bencana alam yang dialami umat manusia secara global saat ini adalah buah dari keabaian kita menerapkan prinsip-prinsip etis dalam relasi dengan lingkungan. Sehingga, alam pun membalas lewat pelbagai fenomena anomali iklim dan bencana-bencana lainnya. Dengan kata lain, krisis alam yang melanda dunia sekarang sesungguhnya berdimensi etis. 

Berangkat dari sini, Islam sebagai salah satu agama besar dunia menawarkan dua etika yang bisa membentuk semacam 'teologi ramah lingkungan' bagi perbaikan kerusakan alam semesta.

Pertama, ekoteologi. Menurut Yunasril Ali (Mata Air Kebaikan, Elex Media Komputindo, 2015, hlm. 125-126), ekoteologi setali tiga uang dengan ekosentrisme, yang beranggapan bahwa alam bukan hanya memiliki nilai instrumental (baca: nilai-guna untuk
dieksploitasi) tapi juga nilai intrinsik (nilai hakiki atau nilai pada-dirinya-sendiri). Karena alam memiliki nilai intrinsiknya, maka manusia tidak boleh semena-mena dalam memperlakukan alam. Dalam khazanah filsafat Barat, etika ini memiliki fondasi yang sepadan dengan ontologi dalam filsafat Spinoza yang memandang bahwa hanya ada satu substansi mutlak yang mengejawantah dalam atribut-atribut tidak terbatas. Alam dianggap memiliki nilai intrinsiknya (nilai yang menempel pada dirinya) sendiri sebagai modus bagi keberadaan substansi.

Sementara dari perspektif Sufi, terutama mazhab Ibn Arabi, alam semesta ini adalah wadah tajalli (penampakan diri) Tuhan, yang oleh Alquran disebut sebagai ayat (tanda). Dengan demikian, nilai secara intrinsik adalah milik Tuhan, sementara alam dan manusia hanya memiliki nilai instrumental bagi Tuhan. Berdasarkan ini, alam memiliki nilai sakral sebagai wadah penampakan diri Tuhan, Maka itu, memperlakukan alam secara semena-mena adalah perbuatan yang tidak terpuji secara etis dan spiritual. Merusak alam atau mengeksploitasi alam secara berlebihan berarti merusak tanda ketuhanan sekaligus melakukan konfrontasi dengan Tuhan.

Kedua, teologi pemanasan global. Mujiyono Abdillah dalam Agama Ramah Lingkungan (Paramadina, 2001) mengemukakan bahwa teologi ini berprinsip bahwa bumi sejatinya merupakan tempat hidup ideal dan langit adalah pelindung kehidupan. Hanya saja, ulah manusia yang melakukan eksploitasi alam secara bebas tanpa kendali telah merusak tatanan ideal yang harmonis tersebut. Sebagai contoh, Bumi dapat menjadi tempat hidup bagi manusia dan makhluk lain karena dilindungi lapisan atmosfer. Jadi, lapisan atmosfer ini harus dijaga betul oleh manusia sebagai khalifah alam. Sayangnya, emisi berlebihan industri kini telah mengotori langit sehingga tak lagi optimal melepaskan panas ke udara dan berakibat pada fenomena pemanasan global dan anomali iklim beserta ragam bencana ikutannya, seperti: angin badai, hujan lebat, banjir, kebakaran, dan lain sebagainya.

Ulah serakah manusia

Berdasarkan pada teologi ramah lingkungan di atas, kita lihat betapa segala kerusakan lingkungan global beserta bencana-bencana alam yang mengikutinya itu berhulu pada satu hal utama: nafsu manusia mengeksploitasi bumi tanpa melakukan tindakan timbal-balik yang patut bagi alam untuk memulihkan dirinya. Memang, kedatangan paradigma modernitas yang mendewakan kemampuan akal manusia membuat manusia lupa diri dan merasa bahwa alam itu tersedia baginya untuk bebas dieksploitasi.

Alam tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang sakral, melainkan sebagai objek semata demi memuaskan kebutuhan nafsu manusia modern yang seakan tiada habis-habisnya. Mulai dari ekstraksi mineral dari perut bumi secara berlebihan yang mengakibatkan krisis tanah, produktivitas berlebihan industri cerobong berkepul yang mengotori udara, penggusuran habitat satwa dan hutan di mana-mana demi spekulasi investasi pemukiman manusia, sampai pencaplokan lahan hijau untuk kepentingan komersial. Kita lihat betapa "dosa" manusia terhadap alam telah menuai hukuman berupa datangnya rentetan bencana. Krisis tanah berujung pada bencana
longsor dan banjir, polusi mengakibatkan pemanasan global, penggusuran habitat satwa berbuah serangan balik satwa liar seperti ular dan lebah ke pemukiman manusia, pembangunan pemukiman membabibuta berujung pada risiko kebakaran, dan sebagainya.

Oleh karena itu, umat Muslim sebagai pemeluk agama terbesar kedua di dunia idealnya bisa berkontribusi untuk mencegah krisis alam bertambah parah. Caranya, umat Muslim dapat mengadopsi prinsip-prinsip teologi ramah lingkungan secara baik dan konsisten (istiqamah).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun