filsafat besar di baliknya. Sebagai contoh, China punya filsafat Konfusianisme, Jepang memiliki filsafat jalan pedang samurai, Amerika Serikat terkenal dengan filsafat pragmatisme yang mementingkan nilai-guna, dan lain sebagainya.
Setiap bangsa besar umumnya memilikiJika tesis di atas berterima, Indonesia boleh dibilang masih ketinggalan untuk menjadi negara besar. Pasalnya, Indonesia belum memiliki satu rumah besar filsafat "Filsafat Indonesia". Padahal, dengan luas wilayah yang demikian besar, layak bagi Indonesia memiliki bangunan filsafatnya sendiri. Maka itu, kita harus memulai dengan membuat semacam peta awal Filsafat Indonesia.
Merujuk pada Burhanuddin Salam dalam Pengantar Filsafat (Rineka Cipta, 1985), suatu sistem filsafat harus memiliki jawaban terhadap tiga cabang filsafat utama: jawaban metafisika/ontologi (hakikat sesuatu), epistemologi (teori pengetahuan/bagaimana pengetahuan mengenai sesuatu itu didapat), dan aksiologi (bagaimana pengetahuan itu diterapkan). Alhasil, upaya memetakan Filsafat Indonesia mesti  bermula dari penyisiran terhadap gagasan-gagasan yang ada di bumi Indonesia, yaitu apakah gagasan-
gagasan itu memuat tiga jawaban di atas. Jika jawabannya positif, gagasan itu patut dikoleksi menjadi satu pasak dalam peta besar Filsafat Indonesia.
Berbekal prasyarat di atas, Indonesia beruntung memiliki khazanah pemikiran filosofis yang kaya guna menghasilkan peta Filsafat Indonesia. Setidaknya ada tiga bahan berkualitas unggul sebagai stok awal.Â
Pertama, filsafat Pancasila. Sejak digagas kali pertama oleh Soekarno pada 1 Juni 1945, Pancasila memang dimaksudkan sebagai dasar filsafat negara (philosofische grondslag). Tambahan lagi, dalam pidato 'To build the World Anew' di depan PBB pada 1963, Soekarno menyatakan Pancasila adalah filsafat yang mampu meretas jalan tengah antara individualisme Barat dan kolektivisme Timur. Semacam perpaduan antara Declaration of Independence Amerika Serikat dan Communist Manifesto dari Uni Soviet.
Apabila dikembangkan lebih jauh, Filsafat Pancasila mampu menjadi alternatif bagi filsafat-filsafat dunia yang sudah berkembang lama. Bahkan, Filsafat Pancasila sudah memiliki sejumlah turunan yang secara aksiologis (praktis) berdampak nyata, seperti Sistem Ekonomi Pancasila hasil olah pikir Moebyarto, Sekolah Rakyat Pancasila oleh Sutedjo Brajanegara, dan lain sebagainya.
Kedua, kearifan lokal (local wisdoms) sebagai filsafat. Dengan ratusan suku bangsa bertebaran di 37 provinsi, Indonesia adalah gudangnya kearifan lokal. Mengingat kearifan lokal merupakan respons kontekstual dari masyarakat setempat terhadap permasalahan hidup di sekitar mereka, banyak kearifan lokal mengandung unsur ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ambil contoh kearifan masyarakat Merapi dalam memandang bencana letusan gunung berapi, kearifan suku Bajo dalam memelihara kelestarian laut demi penghidupan mereka, kearifan suku Mentawai dalam memandang relasi manusia dan alam, kearifan masyarakat Baduy dalam menjaga lumbung pangan, dan lain sebagainya.
Jika Indonesia dapat melakukan inventarisasi kearifan lokal ini, para peneliti tinggal mencari kesamaan pola dan titik singgung asumsi-asumsi dasar filosofis di antara semua kearifan tersebut. Sehingga, kita akan memiliki pola umum Filsafat Indonesia.Â
Ketiga, filsafat Wayang. Meski meminjam inspirasi dari kisah Mahabharata dan Ramayana di India, wayang di Indonesia ternyata memiliki modifikasi cerita dan gagasan filosofis luar biasa yang membuat wayang Nusantara jauh berbeda dibandingkan versi aslinya. Bahkan, wayang di Indonesia memiliki berbagai versi dan bentuk, mulai dari wayang suket, wayang beber, wayang golek, wayang kulit, dan lain sebagainya. Menurut Solichin dalam "Merumuskan Filsafat Wayang" (Ulumul Quran, Vol.IX/1/2013), wayang adalah prototipe filsafat Nusantara yang kekuatannya terletak pada wataknya yang rasional sekaligus spiritual.
Bahkan menurut filsuf Franz Magnis-Suseno atau akrab dipanggil Romo Magnis, wayang mampu memperlihatkan keluasan permasalahan yang dihadapi manusia, kompleksitas hidup, dan ambiguitas yang harus kita pikul (Wayang dan Panggilan Manusia, Gramedia, 1991). Dengan begini, wayang membuka dimensi realitas yang lebih mendalam. Dan, ini merupakan salah satu esensi filsafat, yaitu membongkar realitas secara radikal alias sampai ke akar-akarnya.
Maka itu, kita bisa melihat betapa besar potensi kekayaan khazanah budaya Indonesia sebagai bahan awal mengembangkan panorama atau peta Filsafat Indonesia. Â