Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Indonesia Belum Menjadi Negara Etik, Suatu Telaah Filsafat Politik

15 Januari 2025   09:48 Diperbarui: 15 Januari 2025   09:48 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lambang Negara Garuda Pancasila (Sumber: perpustakaan.id))

Pada dasarnya, politik adalah alat untuk mengantarkan suatu masyarakat ke arah yang lebih baik. Dalam politik, para aktor menggodok segala kebijakan publik yang menentukan nasib khalayak banyak. Karena itu, kebijakan publik yang baik dan menguntungkan masyarakat akan terjadi jika sistem politik atau pemerintahan suatu negara juga baik. Kata "baik" yang dimaksud
di sini adalah baik secara etis atau moral.

Dengan logika demikian, jika kondisi politik sekarang tampak masih riuh dengan segala kritik terhadap negara yang dikelola oleh pemerintah, ini mengindikasikan negara dianggap belum menunaikan tugas etisnya untuk membawa kesejahteraan dan keadilan yang diidam-idamkan rakyat. Oleh karena itu, negeri ini dan para elit politiknya mesti bertekad mengakselerasi perjalanan Indonesia merintis negara etik.

Indikator Filosofis

Suatu perjalanan tentu membutuhkan tujuan yang jelas. Jika kita ingin membangun negara yang baik secara etika, kita tentu mesti tahu dulu definisi negara etik atau etis. Dengan demikian, kita bisa menyusun semacam daftar periksa untuk mengetahui apakah negara kita sungguh sudah etis atau belum. Merujuk Muhammad Azhar dalam Filsafat Politik (Rajawali Pers, 1997) yang menyarikan pendapat puluhan filsuf politik dari dunia Barat maupun Islam, setidaknya ada enam indikator untuk menyebut suatu negara bisa dikatakan etis. Pertama, negara perlu mewujudkan demokrasi di bidang sosial-ekonomi-politik. Kedua, pemerintahan suatu negara mesti mementingkan masalah stabilitas negara dan kelanjutan pembangunan serta mencamkan bahwa perubahan sosial yang ideal haruslah merupakan hasil kerja sama rakyat dan negara. Ketiga, negara harus mementingkan aspek profesi dan pengadaan kerja.

Keempat, rakyat tidak dibenarkan secara etis untuk taklid buta (patuh tanpa daya kritis) terhadap kekuasaan. Sikap oposan itu niscaya bagi perimbangan kekuasaan (checks and balances). Kelima, negara harus mementingkan prinsip kedaulatan hukum (nomokrasi). Karena itu, paham feodalisme kekuasaan yang bercirikan orientasi militer (kekuatan), kepahlawanan yang simbolik, orientasi kekayaan serta dominasi para elit di pemerintahan, hendaknya dijauhkan dari sistem kenegaraan yang dilandaskan pada kedaulatan hukum itu tadi. Keenam, negara harus menghargai pemikiran pribadi maupun sikap revolusioner serta menghindari sifat antidialog.

Berbekal keenam daftar periksa di atas, kita tinggal melihat apakah negara kita saat ini tergolong sebagai negara etis. Dari segi indikator pertama saja, kita ternyata belum memenuhinya. Buktinya, the Economist Intelligence Unit masih mengkategorikan Indonesia sebagai demokrasi cacat (flawed democracy). Selanjutnya, rangkaian PHK yang terus terjadi di mana-mana dan masih sepinya sejumlah sentra ekonomi di beberapa daerah menandakan perbaikan ekonomi ternyata belum sesuai harapan.

Indikator keempat keberadaan oposisi pun tak terpenuhi. Lihat saja, oposisi yang harusnya diwakili DPR justru tumpul karena hampir semua partai politik---minus PDIP---bergabung dalam koalisi pemerintah, yaitu Koalisi Indonesia Maju. Ketiadaan oposisi ini diperparah dengan persepsi bahwa pemerintah terkesan sering tutup kuping dan antidialog (indikator keenam) dalam merumuskan kebijakan publik. Salah satu contohnya adalah kebijakan PPN 12 persen yang tetap disahkan, meski ditunda dengan Peraturan Menteri Keuangan yang menetapkan bilangan pembagi 11/12 sehingga PPN secara riil masih 11 persen. 

Efek-ikutan dari ketiadaan oposisi terlembaga di parlemen adalah potensi tumpahnya oposisi di jalanan dalam bentuk berbagai demonstrasi dan pembangkangan sipil (civil disobedience) yang justru bisa memicu ketidakstabilan. Pada gilirannya, ini akan menimbulkan masyarakat pretorian, yaitu masyarakat yang terpolitisasi namun merasa eksklusif dan tidak mau mengalah (Firman Noor, Quo Vadis Demokrasi Kita?, RMBooks, 2015). Maka itu, beralasan jika kita sekarang kerap melihat friksi horizontal antarmasyarakat maupun vertikal antara masyarakat dan aparat negara.

Terakhir, indikator kelima juga belum terwujud baik di Indonesia. Kedaulatan hukum kita sering hanya manis di permukaan dan tumpul ketika berhadapan dengan pihak-pihak yang memiliki sokongan dari "orang kuat." Ini diperburuk lagi dengan sikap sejumlah oknum elit dan oknum penegak hukum yang hanya berorientasikan pada pemupukan kekayaan lewat cara tak halal seperti korupsi.

Akhirulkalam, kita harus mengakui bahwa negara ini masih jauh dari tujuan etisnya. Namun, orang bijak mengatakan bahwa mengetahui permasalahan adalah setengah dari penyelesaian. Tinggal, bagaimana pemerintah membenahi keenam indikator di atas guna memenuhi tanggung jawab etis memenuhi kesejahteraan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun