Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kegunaan Permainan Tradisional untuk Pembangunan Ekonomi

14 Januari 2025   18:36 Diperbarui: 14 Januari 2025   18:36 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Permainan galasin atau gobak sodor (Sumber: Wikipedia Commons)

Negeri kita ini kaya akan keanekaragaman budaya, termasuk permainan tradisional. Sesungguhnya, ini menjadi modal besar bagi kita untuk memupus mentalitas modern guna menopang upaya pembangunan ekonomi.

Memangnya, apa hubungan permainan  tradisional dengan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi? Apalagi jika merujuk Umar Kayam (Seni, Tradisi, dan Masyarakat, Sinar Harapan, 1981) yang mencirikan budaya tradisional sebagai statis, berjangkauan terbatas, tidak terspesialisasi, dan tercipta secara anonim. Dari segi ini, budaya tradisional terkesan tidak selaras dengan etos ekonomi modern yang dinamis, berjangkauan global, mengutamakan spesialisasi, dan mendewakan individualitas.

Logika mitos

Padahal di sisi lain, budaya tradisional adalah bagian dari folklor yang pada hakikatnya memiliki logika mitos. Menurut antropolog dan filsuf Claude Levi Strauss (dalam Cremers, Mite Tradisional menurut Levi Strauss, Nusa Ende, 1996), logika yang terkandung dalam budaya-budaya purba alias tradisional memuat nilai-nilai bawah-sadar yang justru sangat rasional dan memiliki cakupan universal.
Artinya, universalitas nilai dalam kebudayaan tradisional---termasuk seni dan permainan tradisional---bisa jadi kompatibel alias cocok dengan perekonomian modern.

Kerangka pikir Levi Strauss mendapatkan justifikasinya jika kita melihat secuplik dari ragam permainan tradisional kita di bumi nusantara nan luas ini. Pertama, permainan ceki atau koa. Ini adalah permainan kartu tradisional berusia ratusan tahun yang melibatkan tiga pak kartu (total 180 kartu) dan empat pemain. Setiap pemain awalnya memperoleh sebelas kartu dan kemudian bergilir menarik kartu dari tengah. Tujuan akhir permainan ini adalah memperoleh empat kartu yang sama dari tiga kelompok
kartu. Kartu keduabelas ditarik untuk menjadi pemenang dalam putaran terakhir.

Menurut Nat J. Colletta dalam Kebudayaan dan Pembangunan (Yayasan Obor Indonesia, 1987), permainan ini bisa digunakan untuk menyampaikan pengetahuan khusus tertentu seraya memberikan penekanan pada perlunya perencanaan yang terpadu dan pemikiran komprehensif (menyeluruh) dalam memandang masalah.

Berpijak dari inspirasi ini, sebagai contoh, saya membayangkan kartu ceki itu bisa mengambil tema-tema ekonomi tertentu. Katakanlah, kartu "ceki moneter". Lalu, salah satu sub-tema kartu bisa berupa "siklus kredit" yang terdiri dari empat kartu 'debitor' (deficit unit), 'nasabah bank' (surplus unit), bank (lembaga intermediasi), dan bunga (interest). Bisa juga sub-tema 'biaya kartu kredit' yang terdiri dari empat kartu 'bunga majemuk' (compound interest)', 'denda pembayaran terlambat' (late payment),
'iuran tahunan (annual fee),' dan 'asuransi kartu (credit shield)'. Ini tentu berguna dalam rangka sosialisasi kepada masyarakat supaya melek istilah moneter dan perbankan demi memupuk mentalitas produktif bagi pembangunan ekonomi.

Kedua, permainan catur harimau. Medan permainan terdiri dari serangkaian garis dari sisi-sisi empat persegi panjang yang membentuk garis-garis silang di tengah sebuah papan. Tiga batu merah yang mewakili harimau mulai bergerak dari tengah papan, sementara ada tiga belas batu yang mewakili kambing sebagai pihak lawan. Kambing harus terus menerus masuk ke dalam papan secara strategis supaya harimau terpojok dan tersingkir. Tujuan permainan ini adalah merancang strategi yang cocok supaya tiga belas kambing dapat bersatu demi menceraiberaikan tiga harimau dan membunuh mereka satu per satu. Jadi, permainan catur harimau mengajari kita berpikir analitis, strategis, kooperatif (bekerja sama), dan integratif (terpadu) yang jelas dianjurkan di dalam dunia kerja.

Ketiga, permainan gobak sodor atau galasin. Dalam permainan lapangan terbuka (outdoor) yang melibatkan dua kelompok yang masing-masing terdiri dari empat orang ini (Model Pembelajaran Pendidikan Luar Kelas, Modul Diklat Depdiknas, 2007), kelompok "penyerang" harus melewati tiga bidang permainan untuk mencetak skor. Sementara, kelompok "bertahan"---tiga penjaga yang bergerak horisontal dan satu penjaga peluncur yang bergerak vertikal dalam garis sodor---harus berusaha menyentuh badan semua anggota kelompok penyerang demi menggagalkan serangan. Dalam permainan ini, para pemain dilatih melakukan koordinasi antaranggota tim dan membangun kemampuan bekerja sama (teambuilding). Tujuan utamanya secara keseluruhan adalah, dalam bahasa manajemen, mencapai tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan.

Itu baru tiga contoh permainan tradisional yang nilainya demikian selaras dengan pembangunan ekonomi modern. Padahal, negeri kita ini demikian berlimpah permainan tradisional. Tinggal, bagaimana kita bisa memeras nilai-nilai tersebut, mengadaptasikannya dalam dunia kontemporer, dan menyebarluaskan nilai-nilai itu ke khalayak luas. Jika itu bisa dilakukan, niscaya bangsa kita akan memiliki mentalitas khas yang produktif bagi segala ikhtiar ekonomi modern.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun