Negeri kita ini kaya akan keanekaragaman budaya, termasuk permainan tradisional. Sesungguhnya, ini menjadi modal besar bagi kita untuk memupus mentalitas modern guna menopang upaya pembangunan ekonomi.
Memangnya, apa hubungan permainan  tradisional dengan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi? Apalagi jika merujuk Umar Kayam (Seni, Tradisi, dan Masyarakat, Sinar Harapan, 1981) yang mencirikan budaya tradisional sebagai statis, berjangkauan terbatas, tidak terspesialisasi, dan tercipta secara anonim. Dari segi ini, budaya tradisional terkesan tidak selaras dengan etos ekonomi modern yang dinamis, berjangkauan global, mengutamakan spesialisasi, dan mendewakan individualitas.
Logika mitos
Padahal di sisi lain, budaya tradisional adalah bagian dari folklor yang pada hakikatnya memiliki logika mitos. Menurut antropolog dan filsuf Claude Levi Strauss (dalam Cremers, Mite Tradisional menurut Levi Strauss, Nusa Ende, 1996), logika yang terkandung dalam budaya-budaya purba alias tradisional memuat nilai-nilai bawah-sadar yang justru sangat rasional dan memiliki cakupan universal.
Artinya, universalitas nilai dalam kebudayaan tradisional---termasuk seni dan permainan tradisional---bisa jadi kompatibel alias cocok dengan perekonomian modern.
Kerangka pikir Levi Strauss mendapatkan justifikasinya jika kita melihat secuplik dari ragam permainan tradisional kita di bumi nusantara nan luas ini. Pertama, permainan ceki atau koa. Ini adalah permainan kartu tradisional berusia ratusan tahun yang melibatkan tiga pak kartu (total 180 kartu) dan empat pemain. Setiap pemain awalnya memperoleh sebelas kartu dan kemudian bergilir menarik kartu dari tengah. Tujuan akhir permainan ini adalah memperoleh empat kartu yang sama dari tiga kelompok
kartu. Kartu keduabelas ditarik untuk menjadi pemenang dalam putaran terakhir.
Menurut Nat J. Colletta dalam Kebudayaan dan Pembangunan (Yayasan Obor Indonesia, 1987), permainan ini bisa digunakan untuk menyampaikan pengetahuan khusus tertentu seraya memberikan penekanan pada perlunya perencanaan yang terpadu dan pemikiran komprehensif (menyeluruh) dalam memandang masalah.
Berpijak dari inspirasi ini, sebagai contoh, saya membayangkan kartu ceki itu bisa mengambil tema-tema ekonomi tertentu. Katakanlah, kartu "ceki moneter". Lalu, salah satu sub-tema kartu bisa berupa "siklus kredit" yang terdiri dari empat kartu 'debitor' (deficit unit), 'nasabah bank' (surplus unit), bank (lembaga intermediasi), dan bunga (interest). Bisa juga sub-tema 'biaya kartu kredit' yang terdiri dari empat kartu 'bunga majemuk' (compound interest)', 'denda pembayaran terlambat' (late payment),
'iuran tahunan (annual fee),' dan 'asuransi kartu (credit shield)'. Ini tentu berguna dalam rangka sosialisasi kepada masyarakat supaya melek istilah moneter dan perbankan demi memupuk mentalitas produktif bagi pembangunan ekonomi.
Kedua, permainan catur harimau. Medan permainan terdiri dari serangkaian garis dari sisi-sisi empat persegi panjang yang membentuk garis-garis silang di tengah sebuah papan. Tiga batu merah yang mewakili harimau mulai bergerak dari tengah papan, sementara ada tiga belas batu yang mewakili kambing sebagai pihak lawan. Kambing harus terus menerus masuk ke dalam papan secara strategis supaya harimau terpojok dan tersingkir. Tujuan permainan ini adalah merancang strategi yang cocok supaya tiga belas kambing dapat bersatu demi menceraiberaikan tiga harimau dan membunuh mereka satu per satu. Jadi, permainan catur harimau mengajari kita berpikir analitis, strategis, kooperatif (bekerja sama), dan integratif (terpadu) yang jelas dianjurkan di dalam dunia kerja.
Ketiga, permainan gobak sodor atau galasin. Dalam permainan lapangan terbuka (outdoor) yang melibatkan dua kelompok yang masing-masing terdiri dari empat orang ini (Model Pembelajaran Pendidikan Luar Kelas, Modul Diklat Depdiknas, 2007), kelompok "penyerang" harus melewati tiga bidang permainan untuk mencetak skor. Sementara, kelompok "bertahan"---tiga penjaga yang bergerak horisontal dan satu penjaga peluncur yang bergerak vertikal dalam garis sodor---harus berusaha menyentuh badan semua anggota kelompok penyerang demi menggagalkan serangan. Dalam permainan ini, para pemain dilatih melakukan koordinasi antaranggota tim dan membangun kemampuan bekerja sama (teambuilding). Tujuan utamanya secara keseluruhan adalah, dalam bahasa manajemen, mencapai tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan.
Itu baru tiga contoh permainan tradisional yang nilainya demikian selaras dengan pembangunan ekonomi modern. Padahal, negeri kita ini demikian berlimpah permainan tradisional. Tinggal, bagaimana kita bisa memeras nilai-nilai tersebut, mengadaptasikannya dalam dunia kontemporer, dan menyebarluaskan nilai-nilai itu ke khalayak luas. Jika itu bisa dilakukan, niscaya bangsa kita akan memiliki mentalitas khas yang produktif bagi segala ikhtiar ekonomi modern. Â