Meski konsep demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) sudah diakui luas dan disepakati sebagai dua konsep yang sejauh ini terbukti paling baik dalam memajukan martabat manusia, tetap saja dunia ini penuh sesak dengan konflik dan ketidakadilan. Konflik kawasan seperti yang terjadi di Timur Tengah ataupun antara Rusia dan Ukrania adalah dua contoh. Belum lagi begitu banyaknya berita tentang kian maraknya tindak kejahatan, seperti penipuan, pembunuhan, perdagangan manusia, dan lain sebagainya. Singkat kata, hidup saat ini terkesan kian jauh dari perdamaian. Salah satu hulu tergerusnya suasana perdamaian adalah karena umat manusia telah mengabaikan pengamalan etika keliyanan (ethics of others). Inilah ajaran etika yang bersumber dari pemikiran filsuf Emmanuel Levinas.Â
Merujuk pada kata-kata Emmanuel Levinas sendiri dalam wawancara radionya bersama Philippe Nemo (wawancara diterjemahkan K. Beertens dalam Fenomenologi Eksistensialis, Gramedia, 1986), etika keliyanan  bersendi pada penghormatan manusia terhadap apa yang dinamakan Wajah. Bagi Levinas, Wajah adalah Orang Lain atau Pihak Liyan yang bukan merupakan seseorang dalam suatu konteks. Maksudnya, Wajah adalah satu sosok universal yang memerintahkan individu pemandang wajah untuk menahan diri melakukan perbuatan tidak etis terhadap Wajah (Pihak Liyan). Bahkan menurut Levinas, perintah pertama dari Wajah adalah 'Anda tidak boleh membunuh.' Sehingga, individu adalah 'orang taklukan' Wajah, di mana AKu kemudianbertanggung jawab atas orang lain tanpa menunggu balasan dari orang lain tersebut.
Relasi antara Aku dan Wajah versi Levinas ini berbeda dengan relasi Aku-Engkau (I-Thou) yang dikemukakan filsuf lain, Martin Buber. Menurut Thomas Hidya Tjaja dalam buku pengantarnya tentang pemikiran Levinas, Enigma Wajah Orang Lain (KPG, 2012), jika relasi Aku-Engkau Buber lebih mengutamakan relasi antara Aku dan satu orang saja, versi Levinas sejak awal sudah menyangkut apa yang disebutnya sebagai 'relasi sosial'  atau 'realitas sosial'. Itulah sebabnya filsafat Levinas tidak hanya mengandaikan relasi antara Aku dan Engkau, tapi juga antara Aku dan Pihak Ketiga (le Tiers). Berdasarkan kaitan dengan realitas sosial inilah relasi etis selalu terjadi dalam konteks politis atau ranah publik seraya memunculkan kondisi bagi pentingnya keadilan dalam realitas sosial. Sebab, dalam pertemuan dengan  Pihak Liyan, Aku menemukan panggilan untuk mengurus dan bertanggung jawab terhadap Pihak Liyan. Sekaligus, itu berarti bahwa Aku harus meninggalkan kepentingan dan kenikmatannya sendiri seraya meninggalkan kecenderungannya untuk menetralkan atau menafikan keliyanan orang lain. Â
Dengan kata lain, etika keliyanan ala Levinas menganjurkan sikap takzim terhadap pihak yang berbeda karena di situlah landasan manusia untuk hidup etis dan menganyam dunia yang harmonis lagi adil. Tanpa rasa khidmat terhadap perbedaan, manusia melebur Yang Beda menjadi Yang Sama (The Same), sehingga tak akan ada dinamisme, pengayaan, kemajuan, dan perdamaian umat manusia. Inilah yang disebut filsuf lain, Karl Jaspers, sebagai kenyataan bahwa manusia hanya menemukan kemungkinan menyelenggarakan
komunikasi eksistensial dalam kehidupan bermasyarakat (Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, Pustaka Jaya, 1973).
Langkah konkret menanamkan etika keliyanan adalah dengan mensosialisasikan etika kepedulian (ethics of care), yang terdiri dari delapan butir ajaran. Pertama, etika kepedulian mengutamakan hubungan saling peduli terhadap orang lain. Kedua, orang dalam situasi khasnya masing-masing dapat menerima dan memberikan kepedulian itu. Ketiga, menjunjung tinggi individualitas, bukan individualisme. Maksudnya, masing-masing individu wajib diterima sebagai pribadi yang unik sehingga saling membutuhkan. Keempat, etika ini berfokus pada pribadi konkret, bukan pada sosok tak berwajah (anonim).
Kelima, keputusan diambil berdasarkan konteks dan kekhususan kasus, bukan berdasarkan universalitas situasi dan kondisi. Keenam, hubungan antarmanusia dipandang sebagai proses jangka-panjang, bukan jangka-pendek. Ketujuh, kebajikan (virtue) lebih diutamakan daripada kewajiban berlaku adil (justice). Kedelapan, perasaan peduli haruslah diikuti dengan aksi dan tindakan nyata.
Apabila umat manusia bisa mengamalkan kedelapan poin etika kepedulian yang bersumber dari etika keliyanan di atas, niscaya perdamaian di muka bumi akan lebih mudah terwujudkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H