Perlu diakui bahwa beberapa tahun belakangan ini, dunia yang kita huni begitu sarat konflik. Untuk menyebut contoh, hampir setiap hari kita masih disuguhi berita mengenai reruntuhan puing, gelimpangan tubuh manusia, dan tangisan dari rakyat Palestina yang terlibat konflik dengan Israel. Belum lagi konflik antara Rusia dan Ukraina yang juga telah berlangsung selama bertahun-tahun.
Wajar jika banyak dari kita gelisah. Mengapa di tengah integrasi masyarakat dunia akibat globalisasi dan perkembangan dunia digital, dan juga di tengah sudah diakuinya secara luas konsep demokrasi maupun hak asasi manusia (HAM), air mata dan darah terus tertumpah karena konflik? Apa solusi mendasar yang bisa kita ajukan untuk mengatasi permasalahan ini sekaligus bagi kita untuk menghibur diri?
Jawaban dan penghiburan bagi pertanyaan di atas dapat kita temukan bersama Eric Weil, seorang filsuf yang tidak terlalu populer sebenarnya namun memberikan kontribusi penting lewat Filsafat Perdamaian-nya. Merujuk CB Mulyanto dalam Filsafat Perdamaian (Kanisius, 2012), Eric Weil berpendapat bahwa kehidupan bermasyarakat merupakan medan untuk mewujudkan moralitas manusia dan memperjuangkan makna hidup bahagia. Adapun proses mencapai cita-cita itu adalah dengan kegiatan berfilsafat. Sebab, Weil meyakini bahwa proses berfilsafat terjadi di tengah situasi hidup konkret (politik) di dalam dunia ini (historis) demi tercapainya hidup yang bermakna (moral), yaitu hidup bersama secara damai.
Proses berfilsafat itu kemudian menggunakan metode logis-rasional, berlangsung dalam suasana dialog, Â dan berisikan pengalaman hidup yang berciri politis dan moral. Tanda adanya hidup bersama yang damai itu sendiri adalah dengan terkikisnya kekerasan serta berkembangnya cara-cara hidup yang logis, rasional, dialogis, bertanggung jawab sosial, dan bermartabat.
Dari pendapat Weil, kita mendapatkan jawaban bahwa dunia sekarang tetap sarat konflik karena manusia gagal bersikap rasional dan enggan mengedepankan dialog. Adapun kegagalan ini berasal dari konflik eksistensial manusia. Menurut Fuad Hassan dalam disertasinya di Fakultas Psikologi UI, Kita dan Kami (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), konflik eksistensial secara empiris sebenarnya disebabkan oleh gangguan identitas diri pribadi-pribadi di dalam bermasyarakat. Apabila pribadi-pribadi itu tidak mampu berpartisipasi dalam masyarakat luar, dia akan melakukan proses negasi terhadap masyarakat dan mengidap proses patologis bernama "alienasi." Individu-individu itu kemudian cenderung mengelompok secara eksklusif dan mengembangkan sentimen
kebersamaan sempit atau ke-kami-an. Ciri utama dari kelompok ke-kami-an yang teralienasi ini adalah merasa diri paling benar sendiri dan mengembangkan rasa intoleran terhadap pihak yang berbeda dari mereka.
Padahal, seorang pribadi haruslah menjadi manusia yang bermakna. Dan, itu hanya mungkin menjelma jika individu itu merupakan partisipan dalam suatu kebersamaan atau kolektivitas. Singkat kata, jika individu itu melakukan proses "identifikasi" terhadap  masyarakat tempat ia bernaung dan mengembangkan sentimen kebersamaan atau ke-kita-an.
Maka, jika kita kembali kepada filsafat perdamaian Eric Weil, individu-individu dengan konflik eksistensial itu harus dipulihkan kondisinya. Caranya adalah lewat pendidikan transformatif yang mampu mentransformasi hidup manusia menjadi moralistis dalam komunitas politis. Secara khusus menurut Weil, pendidikan transformatif itu adalah pendidikan filsafat yang akan membantu manusia mengatasi insting dan nafsu buruknya (baca: nafsu mau menang sendiri dan anarkistis) demi menjadi manusia rasional-bebas yang bermanfaat bagi sesama dalam semangat saling membantu dan dialog.Â
Lebih konkret lagi, ini bermakna bahwa umat manusia sedari dini sebaiknya dikenalkan, bahkan harus akrab, dengan kegiatan berfilsafat guna mewujudkan kehidupan bermoral yang penuh kedamaian. Cara mengenalkannya bisa secara formal dengan memasukkan mata ajar filsafat ke sekolah-sekolah dari berbagai tingkatan. Atau, secara informal dengan menyebarluaskan pengetahuan filsafat lewat berbagai kanal media dan pendekatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H