Dalam era ekonomi pengetahuan dan digital seperti sekarang ini, kekuatan gagasan kreatif tidak bisa dianggap main-main. Pakar inovasi ternama James Canton (2007) mengemukakan bahwa sepertiga dari PDB global saat ini berasal dari apa yang disebut industri kreatif. Â Di Indonesia, pada 2017 saja industri kreatif memberikan kontribusi Rp989 triliun pada PDB nasional (7,28 persen) dan mampu menyerap 17,7 juta lapangan kerja. Dalam industri ini, ada empat subsektor dengan pertumbuhan tercepat: TV dan radio; film, animasi, dan video; seni pertunjukan; dan desain komunikasi visual.
Oleh karena itu, kita harus memberikan perhatian ekstra pada industri ini. Berbagai kawasan industri kreatif perlu ditumbuhkan supaya kreativitas bisa dikelola secara lebih sistematis dan dapat dikonversikan menjadi inovasi bernilai tambah. Kreativitas seyogianya tidak diperlakukan sebagai kelebatan ilham semata yang diharapkan akan mengubah perekonomian bangsa ini dalam seketika. Sebab asumsi semacam itu hanya mitos belaka, mitos yang disebut oleh akademisi manajemen terkemuka Harold Evans (2006) sebagai mitos Eureka (Eureka Myth). Sebaliknya, kreativitas harus dikelola dan dilembagakan, seperti lewat format pusat industri kreatif, agar lebih terarah, berdayaguna, dan efektif.
Tiga T
Namun, kita harus mencamkan pendapat teoretikus inovasi Richard Florida dalam The Rise of Creative Class (2004) yang mengatakan bahwa inovasi atau kreativitas dalam satu wilayah hanya bisa tumbuh subur apabila wilayah itu memiliki tiga T, yakni tolerance (toleransi), technology (teknologi), dan talent (sumber daya manusia berbakat).
Berdasarkan ini, kita mesti memperhatikan tiga aspek dalam mewujudkan proyek pusat industri kreatif tersebut. Pertama, terkait dengan toleransi, wilayah tempat pusat atau kawasan industri kreatif itu akan didirikan harus memiliki karakteristik komunitas yang toleran terhadap ide-ide yang baru, berbeda, dan bahkan kontroversial. Kita ingat misalnya beberapa tahun lalu ada satu kejadian di suatu daerah di mana patung hasil karya kreatif seorang seniman terkenal dirobohkan oleh satu organisasi keagamaan cabang setempat. Lokasi semacam itu tentu harus dihindari. Sebaliknya, lokasi yang lebih cocok adalah tempat yang karakteristik masyarakatnya tidak homogen, baik dari segi suku, agama, ras, atau golongan. Dengan lokasi semacam ini, risiko intoleransi dapat diminimalkan dan potensi toleransi dimaksimalkan.
Kedua, sehubungan dengan teknologi, pusat industri kreatif itu idealnya memiliki teknologi penunjang untuk membantu perwujudan ide-ide kreatif menjadi satu produk konkret yang bisa dilempar ke pasar demi mencetak laba besar. Karenanya, perlu dipikirkan stimulasi demi mendatangkan teknologi yang dibutuhkan. Misalnya saja, apabila ada teknologi yang tak bisa diproduksi oleh industri dalam negeri dan harus diimpor, pemerintah dapat memberikan insentif bebas bea masuk bagi teknologi yang akan digunakan di pusat/kawasan industri kreatif. Insentif seperti ini tentu meringankan beban serta menggairahkan para perusahaan kreatif yang beroperasi di kawasan tersebut.
Ketiga, dari segi talenta atau sumber daya manusia (SDM) berbakat unggul, pusat industri kreatif itu harus memasukkan beragam pikiran cemerlang dari berbagai bidang ilmu. Sebab, dalam era globalisasi dewasa ini pengkhususan ilmu menjadi kabur. Sebagaimana diungkapkan Frans Johansson dalam Medici Effect (2007), abad ke-21 adalah eranya pemikiran titik-temu (intersectional) di mana pertemuan dari berbagai arus pemikiran gemilang akan bermuara pada satu cetusan inovasi yang luar biasa.
Dari perspektif ini, sebagai contoh, industri film tidak hanya membutuhkan SDM-SDM lulusan sekolah film semata, tapi juga membutuhkan SDM-SDM dari bidang lain, seperti sejarah untuk membantu akurasi skenario misalnya. Oleh sebab itu, pusat industri kreatif yang akan didirikan sebaiknya terdiri dari industri-industri yang mempekerjakan SDM berwatak heterogen demi tercapainya titik-temu inovasi yang dahsyat. Sektor pendidikan juga mesti membantu dengan cara menyediakan muatan pendidikan yang lebih holistis, interdisipliner, dan inklusif demi menciptakan anak didik-anak didik atau talenta berkualitas unggul. Â
Sebagai penutup, keberadaan pusat industri kreatif di Indonesia adalah hal yang niscaya karena kreativitas bukanlah masalah inspirasi yang datang seketika, melainkan sesuatu yang harus dilembagakan. Mengabaikan pelembagaan industri kreatif sama saja membiarkan luput suatu potensi sumber daya ekonomi yang luar biasa besarnya. Tentu kita berharap di masa depan Indonesia akan memiliki banyak versi Silicon Valley (Lembah Silikon) khasnya sendiri yang mampu melahirkan karya-karya inovatif dan kreatif raksasa pengguncang dunia. Semoga saja!
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H