Salah satu ancaman besar yang senantiasa mengintai dunia adalah krisis energi, terutama energi fosil seperti bahan bakar minyak dan batu bara. Selama ini, berbagai solusi telah digagas, seperti beralih ke energi listik. Padahal, penggunaan energi listrik untuk mobil misalnya, justru bisa meningkatkan penggunaan batu bara mengingat charging station pengisian mobil listrik juga mengandalkan pasokan dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara. Karena itu, kita sebetulnya memerlukan sokongan paradigmatik berupa sosialisasi ajaran etika tentang pentingnya penghematan energi.
Tiga Etika
Dalam panorama teori etika, setidaknya ada tiga diskursus bagi justifikasi penghematan konsumsi energi dunia. Pertama, ekofeminisme sebagai perspektif etis tentang lingkungan (eco) dari sudut pandang perempuan (feminisme). Selama ini, demikian menurut ekofeminisme, sikap etis manusia dalam mengolah lingkungan lebih didominasi oleh pandangan-dunia maskulin (masculine world-view). Padahal, lelaki lebih identik dengan akal, sementara perempuan lebih lekat dengan emosi. Artinya, pandangan dunia maskulin-rasional memiliki spirit dominasi dan eksploitasi alam yang berpusat pada kepentingan sempit manusia (antroposentrisme). Di sisi lain, pandangan-dunia feminis yang emosional dalam ekofeminisme adalah antitesis yang mengedepankan spirit restorasi dan pemeliharaan alam (Sonny Keraf, Etika Lingkungan, 2004).
Dalam bahasa filsafat, etika ekofeminisme adalah bagian dari pemikiran pascamodern (postmodern) yang mengemuka di penghujung abad ke-20. Menurut filsuf pascamodern, J.F. Lyotard (Report on Postmodern Condition, 1984), era pascamodern dicirikan oleh penolakan terhadap narasi-narasi besar (grand narratives) seperti: manusia adalah penguasa alam semesta, perlunya pembangunan ekonomi yang mengeksploitasi lingkungan, pentingnya bahan bakar minyak sebagai motor utama pertumbuhan, dan sebagainya. Sebaliknya, pemikiran pascamodern di bidang energi ingin mencari narasi-narasi energi kecil.
Kedua, transendentalisme. Dipelopori oleh pemikir raksasa Henry David Thoreau (1817-1862) dalam buku kanoniknya, Walden (nukilan dari Jenseth dan Lotto, Constructing Nature, Prentice Hall, 1996), transendentalisme berkeyakinan bahwa
kesejahteraan manusia hanya bisa dicapai lewat hidup berdekatan dengan alam berdasarkan standar hidup yang sekadar “cukup”. Maksudnya, manusia cukup mengkonsumsi apa yang ia butuhkan untuk hidup secara berkualitas tanpa keinginan berlebih menumpuk materi.
Maka itu, guna mewujudkan filsafat “transendentalisme alam” ini, Thoreau gemar hidup di tengah alam, menghidupi dirinya secara sederhana dengan bekal keahlian pertukangan dan menulisnya, serta mengkonsumsi energi pada tingkatan yang sekadar untuk
penerangan. Filsafat Thoreau inilah yang lantas menjadi salah satu inspirasi bangsa Amerika dewasa ini untuk kembali ke gaya hidup hemat energi.
Ketiga, teologi energi baru. Sebagaimana dikemukakan Mujiyono Abdillah dalam disertasinya, Agama Ramah Lingkungan (Paramadina, 2001), mazhab teologi ini meyakini energi sebagai terbatas meskipun kekal sifatnya. Karena itu, segala kegiatan pembangunan mestilah dilakukan secara lestari (sustainable), rasional dan bijaksana. Maka itu, orang-orang yang
tidak percaya bahwa energi itu terbatas sampai memboroskan energi sampai bisa dikatakan sebagai orang yang berperilaku “kufur energi” dan pendosa di mata Tuhan.
Konkretisasi
Alhasil, sejumlah teori etika tadi bermuara pada satu titik temu: manusia memerlukan “narasi-narasi kecil/alternatif” tapi konkret di bidang energi. Untuk itu, kita bisa mengidentifikasi tiga narasi alternatif. Pertama, sudah saatnya umat manusia mengoptimalkan penggunaan sumber daya energi alternatif, seperti: terjunan air, panas bumi, gas, biofuel, jatropha (jarak), nuklir, dan lain sebagainya.
Kedua, umat manusia bisa meminimalkan gaya hidup modern yang rakus energi. Sebagai contoh, kita bisa menggalakkan gaya hidup ramah lingkungan (go green) dengan meminimalkan penggunaan kertas dan menuju masyarakat tanpa kertas (paperless society), mengoptimalkan gerakan daur ulang (recycling and reusing movement), mengolah limbah menjadi bahan bakar alternatif, mendakwahkan doktrin agama hijau yang cinta lingkungan, dan lain sebagainya. Ini selaras pula dengan perkembangan paradigma ekonomi dari ekonomi linear yang hanya mementingkan konsumsi yang padahal menghasilkan limbah menuju ekonomi sirkuler.
Ketiga, kita bisa mulai meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke narasi-narasi transportasi lain yang lebih hemat energi. Jika naik kendaraan umum belum menjadi pilihan utama karena buruknya transportasi publik, kita dapat mencoba cara lain, seperti
menggalakkan budaya nebeng. Atau, kita bisa mengintensifkan gerakan bersepeda ke kantor (bike to work).