Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Kuasa Ibu Negara di Indonesia

12 Januari 2025   01:47 Diperbarui: 12 Januari 2025   00:01 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

            Kita pasti mengenal ungkapan bijak, Di balik pria yang kuat atau sukses, terdapat wanita yang kuat dan sukses pula di baliknya. Karena itu, dalam dunia politik, istri seorang pemimpin negara alias ibu negara sejatinya punya peran penting dalam jalan kepemimpinan sang pasangan.

            Bahkan di Indonesia yang kental budaya patriarkinya, perempuan ternyata sudah menunjukkan taring kuasa politiknya sedari dulu. Misalnya saja, buku sejarawan sekaligus mantan Duta Besar Kanada untuk Indonesia, Earl Drake, bertajuk Gayatri Rajapatni: Perempuan di balik Kejayaan Majapahit (Ombak, 2012) menunjukkan fakta mencengangkan soal ini. Gayatri sebagai putri raja terakhir Singasari, Kertanegara, dan istri pendiri Majapahit, Raden Wijaya, adalah tokoh utama di balik layar yang sebenarnya mengarahkan tindak-tanduk politik duet penguasa Majapahit paling legendaris, Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Status tambahannya sebagai ibu dari Tribuana Thunggadewi, Ratu Majapahit sekaligus ibu dari Hayam Wuruk, jelas mengukuhkan peran Gayatri sebagai manifestasi mutlak titah dewata yang mengejawantah dalam kuasa raja Hayam Wuruk, yang nota bene adalah cucunya sendiri.

            Gayatri boleh dibilang semacam "simbol negara" yang memberikan justifikasi sakral bagi kebijakan sang eksekutor politik, Patih Gajah Mada, yang lahir dari kalangan jelata. Tanpa legitimasi teologis demikian, kita bisa bayangkan betapa sulitnya bagi Gajah Mada untuk membuat kebijakannya efektif di tengah rakyat yang begitu tunduk pada kuasa dewa-dewa.

            Maka itu, meminjam klasifikasi masyarakat ideal Plato (Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Mizan, 1997), Gayatri sesungguhnya adalah sang philosopher-queen (ratu-filsuf) yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan mumpuni di balik kuasa Hayam Wuruk, sementara Gajah Mada adalah prajurit tangguh yang melambangkan semangat kelas pejuang. Hasilnya kita tahu semua demikian dahsyat: bersatunya Nusantara di bawah imperium Majapahit era kepemimpinan Hayam Wuruk -- Gajah Mada.

            Mau tak mau, peran Gayatri mengingatkan juga kita akan tokoh ibu suri Tzu Hsi yang demikian dominan dan mengendalikan kebijakan kaisar terakhir China zaman Dinasti Ching, Pu Yi. Dalam dua novel historis karya Anchee Min, Empress Orchid dan sekuelnya The Last Empress (Hikmah, 2008), misalnya, diceritakan bahwa Tzu Hsi adalah selir muda cantik berjulukan Sang Anggrek yang masuk istana lewat berbagai intrik politik. Ketika Kekaisaran Tiongkok di ambang keruntuhan, dialah yang mampu menyatukan negeri tersebut. Kekuasaannya makin besar ketika anak menjadi kaisar dan kian besar lagi ketika anaknya meninggal dan ia berhasil mengangkat keponakannya yang berusia 2 tahun, Pu Yi, sebagai kaisar baru. Sayangnya, ulah Tzu Hsi semakin semena-mena hingga mengantarkan keruntuhan Tiongkok pada 1911. 

         Kemudian, kita tentu ingat juga peran Inggit Ganarsih mengantarkan sang suami sekaligus anak semangnya, Soekarno, ke puncak kekuasaan (Ramadhan KH, Kuantar Ke Gerbang, Bentang, 2013). Atau, peran kuat Ibu Fatmawati dalam mengiringi perjalanan politik Soekarno dan perjuangan kemerdekaan sampai-sampai Ibu Fatmawati menjadi masyhur karena jasanya menjahitkan bendera merah putih pertama.

            Contoh lain dari kuasa politik ampuh perempuan yang tak kalah legendarisnya di Indonesia adalah Ibu Tien Soeharto. R.E. Elson dalam salah satu biografi terlengkap tentang Soeharto (Suharto, Minda, 2005) menyebutkan bahwa Ibu Tien adalah mitra ideal dan teman tersayang yang sangat setia, cerdik, sabar, banyak akal, luar biasa kooperatif dalam mengakomodasi ambisi militer dan politik Soeharto, dan merupakan sumber akal sehat serta nasihat santun bagi Soeharto. Bahkan mungkin tidak banyak orang tahu bahwa Ibu Tien sebenarnya sangat ingin agar sang suami mundur dari jabatan presiden pada 1980-an dan tidak senang Soeharto kemudian memilih untuk mencalonkan diri lagi pada 1992. Bayangkan saja apabila Soeharto menuruti nasihat sang istri! Tentu Sang Penguasa Orde Baru ini akan turun dari kekuasaan dengan membawa nama harum.

            Selain itu, wafatnya Ibu Tien pada 28 April 1996 juga sedikit banyak melenyapkan pengawasan terhadap kecenderungan kekuasaan Pak Harto. Hasil akhirnya kemudian kita ketahui semua: terdongkelnya Soeharto dari kekuasaan pada 21 Mei 1998 dengan nama yang tak lagi dielu-elukan. 

            Sebagai kesimpulan, posisi ibu negara terbukti penting dalam sejarah kepemimpinan kita sejauh ini. Sebab, ibu negara---sebagaimana sudah ditunjukkan oleh sejumlah perempuan perkasa dalam sejarah kuasa politik Indonesia---akan berperan memberikan energi spiritual dan moral luar biasa dalam memotivasi pasangannya menjalankan tugas mulia sebagai pengemban amanat rakyat untuk mensejahterakan kehidupan umum.  

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun