Â
Salah satu isu yang cukup menyedot perhatian di negeri ini adalah adalah maraknya gerakan-gerakan radikal berbasis agama yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara berbasis agama (teokrasi). Sejumlah gerakan itu bahkan bermuara pada aksi teror kekerasan demi menyampaikan secara tegas pesan mereka.
Keresahan di atas menjadi latar belakang seorang intelektual muda dan tenaga ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Syaiful Arif, untuk menulis buku ini. Di sini, Arif ingin menegaskan bahwa agama dan Pancasila sejatinya tidak usah dipertentangkan.
Pancasila justru sangat kompatibel dengan agama. Guna memperkuat argumennya, Arif bahkan mengajukan istilah Pancasila sebagai teologi atau agama publik. Ini mengingatkan pula akan istilah civil religion yang digagas oleh filsuf klasik Prancis, J.J Rousseau, dan
diteruskan oleh sosiolog Robert N. Bellah pada 1970-an.
Menurut Arif, Pancasila layak menjadi agama publik karena ia mewakili nilai-nilai kepublikan (kebaikan publik) dari agama mengingat ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan merupakan perintah agama (hal. 33). Kemudian, sila Ketuhanan Yang Maha Esa dianggap sebagai landasan teologi bagi "agama publik" Pancasila. Pancasila adalah rumusan teologis yang justru merupakan pancaran nilai-nilai agama, sehingga kesangsian terhadap Pancasila atas nama Tuhan adalah tanda "rabun ruhani." (hal. 34-35).
Diskursus Pancasila sebagai agama publik ini lalu dipertajam dengan mengambil kerangka pikir Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, seorang tokoh agama terkemuka yang justru menolak formalisasi agama dalam negara. Gus Dur mengambil pendekatan sosio-
kultural di mana gerakan Islam seharusnya menekankan kiprah budaya demi pembangunan sistem kelembagaan masyarakat yang berfungsi bagi perubahan struktur masyarakat dalam jangka panjang. Pendekatan ini mengunakan pandangan kultural Islam demi pembentukan perangkat kultural masyarakat yang dibutuhkan demi pembangunan sistem kelembagaan
masyarakat itu sendiri vis a vis kekuasaan negara. Dengan demikian, Arif sepakat dengan Gus Dur bahwa gerakan Islam harusnya melakukan transformasi sosial melalui transformasi kultural (hal. 112).
Pendekatan Gusdurian ini lantas diteruskan Syaiful dengan mencetuskan strategi soft power guna menjinakkan elemen-elemen radikalisme agama. Soft power ini mengambil bentuk penghapusan pemahaman ideologis terhadap agama sehingga agama tidak lagi
dipahami sebagai ideologi politik, melainkan nilai-nilai luhur yang menyemai perdamaian. Singkat kata, diskursus Pancasila sebagai agama publik adalah aparatus untuk melakukan deideologisasi sekaligus deradikalisasi yang berujung pada moderasi pemikiran keagamaan (hal. 187).
Jika deradikalisasi ini bisa dilakukan, maka ini akan melahirkan relasi sehat antara agama dan negara dalam kehidupan republik (dari kata res dan publica, yang berarti kepentingan umum). Relasi ideal ini disebut sebagai toleransi kembar (twin toleration), yaitu
negara menoleransi agama dengan tidak bertindak mencampuri (interventif) terhadap pengamalannya, namun tetap melindungi dan memfasilitasi kehidupan beragama di kalangan umat. Dengan kata lain, agama menoleransi negara dengan tidak memaksakan nilainya menjadi agama negara, namun pada saat bersamaan menopang kehidupan bernegara melalui pembentukan etika politik di tengah kehidupan kewarganegaraan (hal. 235). Selintas, ini mengingatkan kita akan jargon terkenal dari Prof. Mukti Ali tentang relasi antara agama dan negara di Indonesia, yaitu: Indonesia bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler: suatu pemeo yang sempat mengundang kritis sinis bahwa konsep negara dalam Pancasila adalah "negara yang bukan-bukan."
Diskursus agama publik Pancasila sebagai solusi radikalisme agama yang ditawarkan buku ini sangat menarik. Sebab, istilah agama tentu akan menstimulasi diskusi intelektual yang hangat. Kita bisa mempersoalkan apakah Pancasila harus menjadi teologi baru dengan label agama publik? Ataukah, Pancasila sebenarnya sekadar suatu medan lapang untuk bisa diisi oleh tafsir-tafsir madani (eksegesis atau tafsir kitab suci yang mengandung nilai-nilai kepublikan untuk merajut kehidupan masyarakat kewargaan yang lebih baik) dari ajaran doktriner agama-agama? Syaiful Arif tidak menjawab pertanyaan ini, tetapi setidaknya ia sudah berhasil untuk secara bernas menggulirkan suatu diskursus untuk kita renungkan secara serius.
Judul Buku: Islam, Pancasila, dan Deradikalisasi
Penulis: Syaful Arif
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun Terbit: 2018
Tebal: 256 halaman
ISBN: 978-602-04-6222-6
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI