Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menelisik Etik Bajik di Ruang Publik, Mengkaji Filsafat Politik Bersama Hannah Arendt

11 Januari 2025   16:07 Diperbarui: 11 Januari 2025   16:07 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover Buku Etika Keduniawian(Sumber: koleksi pustaka pribadi)

Setidaknya satu dasawarsa belakangan ini, masyarakat merasakan hiruk-pikuk minus substansi dalam dunia politik Indonesia. Alih-alih dirayakan dengan penuh kegembiraan dan kesantunan, kontestasi politik sekarang sering ramai dengan intrik, mulai dari kasus-kasus hoaks, adu caci-maki dan sebagainya. Politik akhirnya dipandang dengan jijik karena kebanyakan aktornya dianggap tidak mengindahkan etika demi meraih maupun mempertahankan tampuk kekuasaan.

Namun, setelah membaca  buku Yosef Keladu Koten, Etika Keduniawian, kita bisa berharap ada titik terang untuk memulihkan politik yang bajik di ruang publik. Meramu hasil disertasinya tentang pemikiran filsafat politik Hannah Arendt (1906 -- 1975) dengan sejumlah refleksi lepas tentang sang filsuf perempuan Jerman itu, Yosef mengenalkan kita dengan istilah etika keduniawian. Inilah
gagasan Arendt soal etika politik yang mesti menyadari bahwa esensi dari dunia yang dihadapi manusia adalah komunikasi dan pertemuan antara manusia yang membincangkan urusan-urusan bersama lewat cara berpikir secara rasional (hal. 14 -- 15). Ibarat kata, tatkala kita bertindak dan berkomunikasi, kita memberikan perhatian penuh pada ide tentang tanggung jawab, yaitu tanggung jawab kita untuk menjadikan dunia ini lebih kerasan untuk kita diami bersama orang lain.

Oleh karena itu, Arendt mengutuk kondisi antipolitik yang ia sebut sebagai worldlesness: Karena politik tidak lain merupakan ruang publik di mana pluralitas manusia dapat bertindak dan berbicara secara bebas, maka antipolitik adalah kondisi yang bertentangan dengan itu (hal. 25). Mudahnya, antipolitik adalah kondisi represif di mana orang tidak bisa lagi bebas untuk bertindak dan menyampaikan pendapat secara publik. Antipolitik bisa disamakan pula dengan menyebarluasnya ketakutan untuk berpikir secara
mandiri dan bebas. Adapun kondisi antipolitik (worldlesness) dibentuk lewat cara invasi politik seperti yang dilakukan Hitler ataupun penipuan dalam politik oleh para elit yang memanipulasi sekaligus menutupi fakta-fakta yang tidak menyenangkan (hal. 35).

Dalam konteks Indonesia kiwari, maraknya kabar bohong (hoaks) untuk menyudutkan lawan-lawan politik adalah satu contoh relevannya. Dengan manipulasi fakta, menjadi mudah bagi elit politik untuk membentuk massa. Bagi Arendt, di dalam komunitas massa, dunia telah kehilangan kekuatan untuk mempersatukan orang dan sekaligus justru memisahkan masyarakat. Sebab, massa dikumpulkan bersama bukan oleh kesadaran akan kepentingan bersama, melainkan karena sama-sama tidak memiliki tujuan tertentu yang dapat dicapai (hal. 47). Akibatnya, massa mudah digiring untuk memberikan dukungan kepada elit politik tertentu dengan cara adu label, seperti massa "pro-Islam" dan massa "pro-Pancasila" atau massa "pro perubahan" versus "pro keberlanjutan". Padahal, adu label ini sering kali meniadakan esensi politik sebagai komunikasi dan tindakan.

Lantas, solusi apa yang ditawarkan Arendt untuk menangkal antipolitik? Sederhana saja: melakukan kembali tindakan berpikir (hal. 71), yaitu kegiatan berdialog jujur dengan diri sendiri tentang realitas sekitar, menampakkannya kepada orang lain sembari bersikap rendah hati menerima kritik. Esensi dari solusi Arendt adalah menumbuhkan kesadaran bahwa hidup bersama dalam dunia memiliki makna kita berbagi dan bertindak dalam sebuah tempat umum dan bukan sekadar mendiaminya (hal. 85). Politik menjadi wacana refleksi terus-menerus yang meniscayakan pluralitas perspektif dan komitmen untuk bertindak mengubah dunia (hal. 108).

Alhasil, politik yang etis sejatinya bertumpu pada kebebasan dan tindakan publik, bukan individual. Adapun tindakan politik sendiri bisa dinilai dari prinsip-prinsip baru yang datang dari hal konkret. Jadi, bukan bertolak dari standar etik universal ke partikular, melainkan sebaliknya (hal. 133). Dengan kata lain, manusia mengemban proyek untuk menemukan etik politik bajiknya sendiri dalam
situasi konkret bersama manusia lain.

Jelas refleksi filosofis serius buku ini bisa berkontribusi penting memulihkan politik yang bermartabat di negeri ini: kompetisi mesti disikapi secara dialogis dan lawan politik haruslah dianggap sebagai mitra sepermainan alih-alih lawan yang mesti dihancurkan.

Judul: Etika Keduniawian
Pengarang: Yosef Keladu Koten
Penerbit: Ledalero
ISBN: 978-602-1161-61-6
Halaman: xxxviii + 192 halaman
Tahun Terbit: Agustus 2018

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun