Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jalan Tengah Dua Mazhab Puisi, Ikhtiar Penyair Ahmad Nurullah dalam Buku Setelah Hari Keenam

11 Januari 2025   13:20 Diperbarui: 11 Januari 2025   11:22 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover Buku Setelah Hari Keenam (Sumber: Koleksi Pustaka Pribadi)

Satu ketika, penyair Sapardi Djoko Damono berkata, "Puisi adalah jawaban terhadap satu persoalan." Maksudnya tentulah bukan puisi memiliki solusi praktis bagi satu masalah konkret. Melainkan, puisi berperan merespons kejadian sekitar. Dari sini, lahirlah dua mazhab puisi. Pertama, puisi bersifat pamfletis dan mengajukan protes sosial untuk menggugah kesadaran bertindak audiens.
Figur-figur yang lekat dengan mazhab ini misalnya Rendra, Taufiq Ismail, dan lain-lain. Puisi menandingkan diri dengan Realitas atau Ada (Being). Maka itu, hakikat puisi menurut mazhab ini adalah pemantik perubahan sosial.

Kedua, puisi memiliki realitas tersendiri. Yakni, realitas dengan satu visi terobosan untuk diresapi audiensnya. Ringkasnya, puisi semestinya hanya menyandingkan diri dengan Realitas. Nah, kumpulan sajak Ahmad Nurullah, Setelah Hari Keenam, berusaha meretas jalan tengah. Sebab, kumpulan puisi yang merekam karier kepenyairan Ahmad selama 24 tahun ini tidak sekadar
berindah-indah dengan ekspresi puitiknya. Melainkan, juga berkomentar kritis terhadap peristiwa aktual.

Misalnya saja, dalam sajak "Setelah Hari Keenam", Ahmad mempertanyakan maksud Tuhan di balik segala konflik dan kekerasan yang Dia ciptakan di muka bumi: Tapi, tak tahukah Ia: apa yang akan terjadi/sesudah itu, jauh setelah hari keenam?/Apa lagi yang akan terjadi, misalnya:/ setelah Semanggi, Sambas, Aceh, atau Jimbaran? (hal. 98)

Namun sesudah nada "pamfletis" tersebut, sang penyair tidak lantas melancarkan kritik menggebu-gebu. Cukup menyajikan gumaman liris nan indah yang merangsang imajinasi pembaca membayangkan satu visi alternatif. Detik ini, apa yang dilakukan Tuhan?/Aku tak tahu. Seperti aku tak tahu nasibku,/dan nasib anak-anakku---esok, di negeri ini/setelah semua tangisku berakhir, dan kapalku berangkat/dalam debu (hal. 99).

Dengan kata lain, Ahmad ingin mewarisi obor nalar alaf baru yang disebut Martin Heidegger sebagai "Nalar Puitis." Itulah bentuk nalar yang tidak berpretensi membingkai realitas dalam pisau bedah dingin akalbudi seperti nalar modern-analitis zaman Pencerahan (Enlightenment). Melainkan, sebentuk nalar yang memiliki "kepasrahan filosofis" untuk menggembala "Ada" hingga mewahyukan (aletheia) diri pada akalbudi manusia dalam bentuk visi cemerlang yang membentuk takdir (destining) sejarah di
masa depan. Jadi, nalar puitis mengawinkan analisa dan rasa sekaligus aksi dan visi.

Bagi Ahmad, kejayaan nalar modern itu membuahkan efek mendua dalam sejarah manusia. Di satu sisi rasionalitas modern membawa kita pada kemajuan teknologi dan kenyamanan hidup. Di sisi lain, rasionalitas yang sama memberi kita aneka masalah baru: kerusakan lingkungan, perang atas sumber daya alam, dan sebagainya. Itulah yang dikritik nalar puitis Ahmad dalam "Ritus Hujan": Tubuh adalah jejak sejarah yang lezat, sekaligus pedih," bisikmu,/sepertinya baru mengerti (hal. 85).

Singkat kata, kumpulan puisi seperti ini terbilang langka. Sebab, lapisan pertamanya yang "pamfletis" mudah dicerna bagi pembaca awam sekali pun, tapi lapisan berikutnya yang "bernalar puitis" cukup mendalam. Selain itu, buku ini berupaya mengajuk nalar dan emosi pembaca secara seimbang. Artinya, sang penyair mengajak kita hidup secara bernalar dengan menganalisis berbagai peristiwa sekitar sekaligus mengasah emosi demi membayangkan visi-visi alternatif yang digelarkan Realitas untuk kita cerap. Sebab, visi-visi itulah yang berpotensi menghasilkan satu masa depan yang lebih baik.

Sayangnya, kelebihan nalar puitis juga menjadi kekurangannya. Maksudnya, nalar jalan tengah seperti nalar puitis membuat si penalar kerap gamang menentukan sikap antara ber-otak dan berontak. Sampai- sampai, kegamangan ini justru membuahkan inaktivisme (keragu-raguan bertindak). Meski demikian, buku ini tetaplah bacaan rekomendasi yang menghibur lagi mencerahkan.

Judul Buku: Setelah Hari Keenam
Pengarang: Ahmad Nurullah
Penerbit: CakraBooks
Tahun Terbit: 2012
Tebal: 110 halaman
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun