Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tangga-Tangga Menuju Tuhan, Panduan Menjadi Sufi dari Buku Maqam Spiritual karya Menteri Agama Kita

11 Januari 2025   12:01 Diperbarui: 11 Januari 2025   11:09 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover buku Maqam-Maqam Spiritual (Sumber: koleksi pustaka pribadi)

Tujuan agama paling ultim (puncak) adalah sebagai sarana bagi seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Dalam tradisi Islam, ada tingkatan-tingkatan atau maqam-maqam (stations dalam literatur sufi berbahasa Inggris) bagi setiap insan yang berupaya mencapai Allah. Dalam buku yang merupakan kumpulan kolom mingguannya di harian Media Indonesia, Imam Besar Masjid Istiqlal dan Menteri Agama era Presiden Prabowo Subianto, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, menguraikan soal berat pendakian spiritual itu secara dalam, ringkas, padat, dan mudah dicerna. 

Kupasannya begitu kaya karena kemampuannya mengulik makna esoteris (hakiki atau batiniah) dari setiap kata berbahasa Arab seputar tema yang kerap disebut sufistik ini. Sebagal awal, buku ini membedakan tegas tiga kosakata Arab terkait dengan relasi penghambaan manusia kepada Tuhan. Ada kata 'aabid yang merujuk pada orang yang penyembahan dan keimanannya kepada Tuhan masih bermasalah. Di atas itu, ada 'abiid sebagai orang yang imannya sudah mantap dan benar, tapi belum mampu mengimplementasikan keimanannya secara baik. Lantas, paling tinggi ada 'ibaad yang memiliki keimanan sejati dari segi konsep maupun implementasi (hlm. 22).

Kemudian, mereka yang ingin dekat kepada Tuhan harus berupaya menjadi 'arif, bukan hanya 'alim. 'Alim adalah mengerti dan mengetahui dari segi kognitif, sementara 'arif memiliki makna 'bijaksana.' 'Alim bisa digapai dengan cara belajar lewat sekolah maupun buku-buku dan media lain, sementara 'arif hanya bisa diraih lewat kesabaran, kepasrahan diri, tawakal, dan upaya-upaya pendekatan diri kepada Allah (hlm. 30).

Syarat-syarat pendekatan diri itu bermacam-macam dan bertingkat-tingkat laiknya anak-anak tangga. Pertama, seorang salik atau para salikin (pencari Tuhan) mesti melakukan taubat berjenis tawwab, bukan sekadar taib. Taib adalah taubat ketika orang baru melakukan dosa, sementara tawwab adalah taubat yang dilakukan seorang hamba (al-tawwab) terus-menerus meskipun mungkin ia sebetulnya tidak sedang atau baru berbuat dosa (hlm. 35).

Lanjutannya, taubat harus ditingkatkan supaya bersifat istijabah, yaitu taubat yang terjadi karena rasa malu terhadap kemuliaan Tuhannya. Ini berkebalikan dengan taubat inabah sebagai sikap taubat seorang hamba yang hanya didorong rasa takut terhadap dosa dan maksiat yang telah dilakukannya, sehingga terbayang di benaknya kerugian besar di dunia dan siksa Tuhan yang amat pedih di neraka (hlm. 41).

Kedua, seorang salik harus melatih kemampuan bersyukur. Adapun syukur yang dimaksud di sini bukan syukur yang sekadar syukuur, tapi bersifat syakuur. Syukuur bermakna sekadar mensyukuri nikmat seperti kesehatan, kekayaan, ketampanan, dan sebagainya. Di sisi lain, syakuur itu mensyukuri segala sesuatu yang datang dari Tuhan, termasuk musibah, penderitaan, dan kekecewaan (hlm. 66). Oleh karena itu, mencapai derajat syakuur jelas bukan pekerjaan mudah.

Ketiga, berserah diri. Kita selama ini mengenal kata tawakal (tawakkal) untuk berserah diri, padahal ada tingkatan berserah diri yang lebih tinggi, yaitu taslim. Jika tawakkal itu berserah diri sesudah melakukan upaya maksimal, taslim bermakna memasrahkan total segala kondisi hanya kepada Allah. Tawakkal berlaku bagi orang yang masih berlumur dosa, sementara taslim hanya mampu dicapai oleh para Nabi dan wali Allah, sehingga mereka bisa mendapatkan mukjizat dan karamah atas perkenan-Nya (hlm.102).

Adapun puncak dari perjalanan seorang salik adalah mahabbah. Inilah kondisi ketika seorang hamba atau salik memiliki rasa cinta yang sangat dalam dan universal kepada siapa pun. Dalam istilah sufi, mahabbah adalah cinta yang amat mendalam kepada Allah, sehingga tidak ada ruang lagi untuk membenci siapa pun. Mahabbah adalah salah satu maqam tertinggi bagi para salikin. Bahkan, jika
seseorang telah mencapai derajat mahabbah seperti sufi perempuan Rabi'ah al-Adawiyah, batinnya sampai-sampai tidak lagi punya ruang untuk membenci setan (hlm. 135).

Alhasil, buku ini menjadi karya penuh makna sebagai pengantar dan panduan bagi mereka yang ingin menjadi Sufi dan menempuh perjalanan panjang menuju Tuhan.

Judul Buku: Maqam-Maqam Spiritual
Penulis: Prof. K.H. Nasaruddin Umar
Penerbit: MI Publishing
Cetakan: I, Januari 2018
ISBN: 9786025187925
Tebal: 152 halaman

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun