Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Book

Sistem Ekonomi Pancasila sebagai Alternatif? (Resensi Buku Sistem Ekonomi Pancasila)

9 Januari 2025   20:26 Diperbarui: 9 Januari 2025   18:41 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover Buku Sistem Ekonomi Pancasila (Sumber: foto koleksi pustaka pribadi)

Judul Buku: Sistem Ekonomi Pancasila
Penulis: Subiakto Tjakrawerdaja dkk.
Penerbit: Rajawali Pers
Tahun Terbit: Mei 2017
Jumlah halaman: xxi + 185 halaman.

Di tengah begitu banyak masalah ekonomi yang menghimpit negeri ini, sekalangan orang mulai merasakan jangan-jangan ada yang tidak beres dengan hulu praktik ekonomi sekarang. Artinya, praktik ekonomi saat ini tidak segaris dengan filsafat ekonomi yang terkandung dalam pandangan-hidup khas bangsa Indonesia, Pancasila.

Hal ini tampaknya alasan bagi tim penulis, yang merupakan pengurus yayasan sekaligus tim pengajar di Universitas Trilogi, Jakarta, untuk menggali kembali konsep Sistem Ekonomi Pancasila (SEP). Apalagi, konsep ini sudah menjadi mata kuliah wajib universitas di kampus bersangkutan (hal.viii).

Dalam buku ini, para penulis berupaya memaparkan secara lengkap genealogi (keterkaitan asal-usul) historis, penalaran filosofis, dan implementasi praktis dari SEP. Bahkan, tim penulis punya ambisi lebih jauh dengan menyodorkan klaim SEP sebagai jalan tengah antara sistem kapitalisme dan sistem sosialisme yang sudah lebih dulu ada.

Menurut buku ini, SEP memiliki dua ciri pokok. Pertama, pengaturan negara di bidang ekonomi harus diputuskan oleh rakyat secara mufakat. Inilah arti sesungguhnya dari kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Kemudian, karena representasi seluruh rakyat dianggap ada dalam MPR, lembaga inilah yang berkewajiban menyusun struktur ekonomi ataupun menetapkan garis-garis besar kebijakan ekonomi (hal.87).

Ciri ini yang dianggap menjadi pembeda dengan kapitalisme dan sosialisme. Sebab, kapitalisme yang mengandalkan pasar bebas justru sering berujung pada kegagalan pasar, yang lantas menyebabkan kesenjangan dan ketidakadilan dalam masyarakat serta kerusakan lingkungan. Di sisi lain, sosialisme yang mengutamakan peran dominan negara memiliki kelemahan berupa pemangkasan kebebasan dan kemandirian rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi.

Kedua, SEP mengandaikan adanya keserasian tata peran dan kemitraan setara antara perusahaan negara (BUMN), koperasi dan swasta dengan misi meningkatkan produktivitas dan efisiensi seraya memperkuat usaha mikro, seperti petani, nelayan dan pengrajin. Konsep ini kemudian disebut sebagai "pasar berkeadilan" (hal. 88).

Lantas dari dua ciri pokok tersebut, tim penulis merumuskan sejumlah manifestasi SEP, yaitu: mewujudkan kemakmuran bersama seluruh rakyat dan kemandirian ekonomi bangsa; partisipasi total rakyat dalam pembangunan ekonomi; perencanaan ekonomi nasional; peran strategis negara; institusi pasar yang berkeadilan; koperasi Indonesia sebagai sokoguru ekonomi rakyat; BUMN sebagai soko guru dalam kegiatan ekonomi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak; peran perusahaan swasta sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesempatan kerja; dan adanya perlindungan sosial bagi rakyat yang tidak dapat bekerja produktif atau kehilangan pekerjaan (hal. 92 -- 97)

Apabila kita simak inti buku di atas, terlihat karya ini masih mengandung sejumlah kelemahan. Pertama, karya ini belum sepenuhnya mampu memberikan dimensi konkret dari SEP. Ini berbeda dari upaya penganjur ekonomi Islam atau ekonomi syariah yang sudah menyodorkan konsep skema kredit syariah, perbankan syariah, kebijakan moneter syariah, dan lain sebagainya. Padahal, sudah ada sejumlah karya yang menjurus ke sana, seperti konsep 'manajemen Pancasila' oleh Muchtar Naim (Jurus Manajemen Ekonomi Pancasila, YOI, 1987).

Kedua, gagasan MPR sebagai perumus GBHN masih debatable. Sebab, pelaksanaannya akan kembali menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan presiden sebagai mandataris MPR yang dipilih oleh MPR alih-alih langsung oleh rakyat seperti saat ini.

Ketiga, karya ini masih terperangkap sebagai proyek 'utopis' yang sloganistis mengingat konsep sistem ekonomi lain hanya diteropong kesalahannya secara 'tipe ideal'. Contoh, anggapan bahwa kapitalisme itu hampa dari nilai spiritual (hal. 53) sesungguhnya sudah banyak ditepis, misalnya oleh disertasi Sonny Keraf tentang pemikiran Adam Smith (1991) yang menyatakan bahwa pasar bebas akan bertahan apabila para pelakunya memiliki simpati terhadap sesama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun