Judul: Dilarang Gondrong!
Penulis: Aria Wiratma Yudhistira
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun Terbit: 2018
Jumlah halaman: xii + 179 halaman
ISBN: 9768-979-1260-75-6
Apa hubungan antara gaya potongan rambut dan sistem politik satu negara? Sekilas pertanyaan ini terlalu mengada-ngada bagi sebagian orang, bahkan bagi para akademisi sekalipun. Setidaknya itu pengalaman Aria Wiratma Yudhistira ketika mendapati proposal skripsinya yang menjadi embrio buku ini, Dilarang Gondrong!: Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an, sempat ditolak oleh tempatnya berkuliah di Departemen Sejarah Universitas Indonesia.
Akan tetapi, Aria Wiratma Yudhistira ternyata mampu membuktikan betapa fesyen atau mode ternyata menjadi medan pertarungan politik yang punya dampak besar dan merentang lama bagi kelestarian suatu rezim pemerintahan, dalam hal ini rezim Orde Baru
(Orba) di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto. Sebagai awal, buku ini berangkat dari episode sejarah maraknya aksi dan sentimen
anti-rambut gondrong pada awal 1970-an, yaitu masa ketika rezim Orde Baru mulai mengonsolidasikan kekuasaan. Inilah rezim yang mencemaskan potensi politik pemuda yang bisa menggerogoti legitimasi pemerintahan. Sebab, dalam sejarah Indonesia modern, pemuda memang sering dikonotasikan dengan politik (hlm. 18). Ini dikuatkan oleh para Indonesianis (peneliti asing tentang Indonesia), seperti Ben Anderson dengan Revolusi Pemoeda (1988) dan Wlliam H. Frederick dengan Pandangan dan Gejolak (1989). Juga, oleh sejarawan lokal seperti Onghokham yang sempat mencetuskan konsep Angkatan 57, yaitu generasi yang merupakan pengejawantahan dari kegiatan partai-partai politik yang menyoal konsepsi Presiden untuk kembali ke UUD 1945.
Bahkan, pemuda mahasiswa adalah aktor penting yang sejatinya ikut menyingkirkan rezim Orde Lama di bawah komando Sukarno dan menaikkan rezim Orba (hlm. 21). Dari paranoia atau ketakutan inilah, titik balik bermula. Pemerintah Orba yang mewarisi krisis
ekonomi dari rezim Orde Lama memerlukan stabilitas politik demi memulihkan perekonomian. Melihat potensi politis pemuda yang bisa mengganggu stabilitas, maka rezim paranoid Orba bertekad melakukan strategi depolitisasi pemuda atau menjinakkan potensi
pemuda untuk melakukan aksi politik. Apalagi, pada tahun 1970-an awal, marak gaya hippies dari Barat yang menawarkan kebebasan dalam hidup. Akibatnya, pemuda Indonesia yang keranjingan gaya hidup hippies yang bohemian dianggap mengganggu ketenteraman umum dalam pemerintahan (hlm. 45). Sekaligus, citra hippies dianggap berlawanan dengan citra depolitisasi pemuda sebagai "harapan bangsa" dan "agen pembangunan." Rambut gondrong kemudian menjadi simbolisasi dari anak-anak muda yang melenceng dari "kepribadian nasional" (hlm. 106).
Terjadilah proses diskursus masif yang melibatkan media massa untuk memberikan citra buruk bagi rambut gondrong. Banyak media mengasosiasikan pemuda berambut gondrong dengan tindak kriminal. Bahkan, penelitian dalam buku ini tidak menemukan satu pun ciri-ciri botak dan cepak sebagai sesuatu yang terasosiasikan dengan tindakan kriminal (hlm.104). Puncaknya, terjadilah aksi massal aksi anti-rambut gondrong dan razia rambut gondrong di mana-mana. Gong dari aksi ini adalah pernyataan langsung dari Panglima
Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal Soemitro pada Senin Malam 1 Oktober 1973 di TVRI bahwa rambut gondrong membuat pemuda menjadi overschilling alias acuh tak acuh.
Rambut gondrong menjadi sasaran empuk bagi fitnah atau kambing hitam oleh penguasa. Sewaktu pecah kerusuhan 5 Agustus 1973 di Bandung, pemerintah mengumumkan pelakunya adalah sekelompok pengemudi becak dan orang-orang berambut gondrong (hlm.
110). Demikian pula pemuda berambut gondrong diasosiasikan dengan peristiwa kerusuhan 5 Januari 1974 yang kini dikenal sebagai peristiwa Malari (hlm. 112). Untuk menyegarkan ingatan, Malari adalah satu peristiwa sejarah yang umum disebut dalam banyak analisa sebagai momen puncak bagi Jenderal Soeharto untuk mengonsolidasi kekuasaannya secara efektif dengan membungkam segala kritik, terutama dari pemuda dan mahasiswa. Juga, secara efektif menutup potensi munculnya rising star militer seperti Ali Moertopo dan Soemitro untuk menggerogoti kekuasaan sang Jenderal. Malari menjadi puncak dari keberhasilan rezim paranoid Orde Baru melakukan praktik depolitisasi mahasiswa.
Alhasil, berbekal buku ini, kita mafhum betapa satu episode kecil dalam sejarah, seperti larangan rambut gondrong, punya dampak luas: depolitisasi pemuda atau pemuda apolitis, yang jejaknya bisa dilihat sampai hari ini dalam bentuk generasi alay yang hedonistis. Ini terangkum pula dalam epilog menarik pasca-penulisan skripsi oleh penulis, "Pemuda, Remaja, dan Alay". Alay atau anak layangan dan bisa juga anak kelayapan adalah anak muda dari kelas menengah bawah yang ingin masuk ke dalam lingkaran budaya
konsumsi global (hlm. 160). Dengan kata lain, alay merupakan hasil panjang dari depolitisasi pemuda yang tujuannya utama sekadar untuk memuaskan komodifikasi gaya hidup. Padahal, pemuda secara ideal mesti menjadi pemuda yang penuh vitalitas dan semangat yang revolusioner. Ini erat kaitannya dengan khittah historis awal pemuda sebagai agen politik yang erat kaitannya dengan gagasan dan kehendak akan perubahan. Begitulah alarm awal dari buku ini yang seyogianya mampu menyentakkan kesadaran para takeholders bangsa untuk kembali mengerahkan secara maksimal potensi aset pemuda yang sedang berlimpah saat ini akibat bonus demografi yang sedang kita alami.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H