Dalam dunia kebijakan publik, hubungan antara demokrasi dan pembangunan ekonomi ibarat hubungan cinta -- benci. Pasalnya, penerapan demokrasi dianggap sering menimbulkan kegaduhan dan instabilitas politik, yang pada akhirnya mengganggu geliat pertumbuhan ekonomi. Maka itu, ada tipe pemerintah lebih senang menerapkan demokrasi secara terbatas-prosedural dengan mengerem laju demokrasi demi memuluskan kegiatan-kegiatan pembangunan.
Di Indonesia, hal ini yang nampaknya sedang terjadi. Pengereman laju demokrasi itu secara objektif terlihat dari data the Economist Intelligence Unit (EIU) yang masih mengkategorikan Indonesia sebagai demokrasi cacat (flawed democracy). Juga, dari data indeks ruang kebebasan sipil Civicus Space yang menempatkan Indonesia di kisaran 70-an, di mana itu berarti ruang kebebasan masyarakat di Indonesia masuk kategori menyempit (narrowed).Â
Padahal, pandangan bahwa demokrasi itu menghambat pembangunan ekonomi hanyalah salah satu mazhab dalam memandang relasi antara demokrasi dan pembangunan. Perlu diketahui, ada dua mazhab terkait hubungan antara kedua faktor tersebut (Siwage Dharma Negara, "Sistem Demokrasi dan Kualitas Pembangunan" dalam Demokrasi tanpa Demos, LP3ES, 2021). Pertama, mazhab yang menganggap sistem demokratis memiliki dampak negatif terhadap pertumbuhan alias pembangunan ekonomi. Menurut mazhab ini, sistem otokratis akan lebih efektif karena pemerintah tidak perlu menghabiskan waktu untuk memenangi pemungutan suara dan tidak perlu menghabiskan waktu maupun tenaga untuk bernegosiasi dengan kelompok-kelompok masyarakat.
Selain itu, sistem demokratis lebih mementingkan perebutan suara kelompok mayoritas, yang umumnya miskin, sehingga sistem pemungutan suara mayoritas ini lebih memungkinkan terpenuhinya tuntutan redistribusi pendapatan dari si kaya ke si miskin. Akibatnya, kinerja mesin ekonomi menjadi tidak efisien dan lambat.
Mazhab ini mendukung penjelasannya dengan memaparkan bukti bahwa negara-negara yang terkenal sebagai 'macan Asia' (Asian Tigers), yaitu Singapura, Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan justru memiliki sejarah yang tidak demokratis. Singkat kata, tidak ada korelasi positif antara demokrasi dan pembangunan ekonomi.
Kedua, mazhab yang melihat ada hubungan positif antara demokrasi dan pembangunan ekonomi. Sebab, sistem demokratis memberikan kepastian akan hak milik, menjamin stabilitas, mendorong akumulasi modal manusia, serta mendorong aktivitas pengembangan teknologi dan inovasi. Selain itu, negara-negara yang telah lama menerapkan sistem demokratis cenderung tumbuh lebih cepat dan memiliki kebijakan ekonomi yang kondusif untuk pertumbuhan.
Indonesia masuk mana?
Memang, perdebatan kedua mazhab di atas masih berlangsung sengit. Sehingga, sampai saat ini belum ada hubungan kausal yang bisa dipastikan antara suatu rezim politik dan kinerja ekonominya. Namun, Indonesia sejauh ini tampaknya menganut mazhab pertama.
Padahal, pengekoran buta terhadap mazhab pertama ini bisa mengundang masalah serius di masa depan. Pasalnya, contoh empat macan Asia yang sukses secara ekonomi meskipun tidak memiliki sejarah panjang demokrasi sangatlah berbeda dengan konteks Indonesia. Misalnya saja, kompleksitas masyarakat di keempat negara itu relatif homogen, sehingga satu kebijakan mudah berlaku bagi semua. Bayangkan dengan konteks Indonesia yang heterogen (majemuk) dengan begitu banyak ratusan etnis, puluhan ras, dan budaya. Di sini, satu kebijakan bisa saja diterima dan cocok bagi satu etnis, tapi tidak bagi etnis lain. Dan, ini tentu mengundang potensi instabilitas di kemudian hari bak bara dalam sekam.
Karena itu, pemerintahan Prabowo -- Gibran seyogianya mulai menganut mazhab kedua terkait relasi demokrasi dan pembangunan ekonomi. Sebab, studi dari Acemoglu dan Robinson (Why Nations Fail, Crown, 2012) menunjukkan bahwa sistem demokrasi justru mampu menambahkan sekitar 20 persen terhadap PDB per kapita suatu negara dalam jangka panjang. Salah satu sebabnya adalah karena sistem demokrasi mendorong keterbukaan terhadap pendidikan dan kesehatan. Juga, memiliki kelebihan dalam meredakan keresahan sosial akibat kemajemukan masyarakat. Dengan begini, stabilitas politik yang diperlukan pertumbuhan pun akan tercipta.
Jadi, Indonesia sebagai negara majemuk mau tak mau harus menjalankan sistem demokratis secara murni dan konsekuen. Jika tidak, kita harus berkaca pada sejarah kelam era Orde Baru (1967-1998), di mana rezim pemerintahan yang memberangus demokrasi atas nama pertumbuhan ekonomi harus tumbang ketika mendapati kinerja ekonomi prima yang mereka bangga-banggakan ternyata keropos bak istana yang dibangun di atas pasir.