Sekarang ini, headline mayoritas media kita sedang dihebohkan oleh urusan sepak bola, yaitu terkait pemberhentian Shin-Tae Yong sebagai pelatih tim nasional. Iya, sepak bola memang demikian memikat umat manusia hingga riuh membahasnya. Mungkin karena dari sepak bola kita bisa belajar banyak hal tentang hidup. Bahkan, ada pemeo bahwa 'sepak bola adalah miniatur kehidupan'. Â
Tulisan ini tidak ingin membahas soal coach STY, melainkan lebih ingin membahas betapa miripnya  sepak bola mirip dengan filsafat. Sebab, filsafat dan sepak bola sejatinya sama-sama mewakili ikhtiar manusia mencerap kenyataan agung bernama Kebenaran (Truth, Being, esse).
Ini terlihat dari fakta mengejutkan bahwa setidaknya ada dua aliran filsafat raksasa yang justru lahir ketika para tokoh penggagasnya menonton dan merenungkan sepak bola. Pertama, filsafat analitik language-games Ludwig Wittgenstein. Ini adalah aliran filsafat yang menyatakan seorang penggiat filsafat harus mencerap kebenaran lewat analisa terhadap proposisi-proposisi atomistis---
proposisi sederhana yang tidak bisa lagi dipecah-pecah---dengan mengindahkan aturan-aturan berbeda di dalam setiap bahasa yang khas.
Artinya, kebenaran di satu bidang atau konteks budaya tidak bisa dipandang dari teropong budaya lain, melainkan harus melalui aturan dalam konteks budaya bersangkutan. Tak pelak, pendapat demikian berpengaruh hingga saat ini dan melahirkan pelbagai filsafat turunan seperti multikulturalisme yang mengedepankan toleransi dan empati terhadap perbedaan karena dianggap sebagai kekhasan satu budaya yang punya logikanya sendiri alias vernacularity (Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, Pustaka LP3ES, Jakarta, 2002).
Menariknya, Wittgenstein kabarnya terilhami melahirkan aliran filsafat besar ini ketika dia menonton pertandingan sepak bola dan tersadar bahwa mengapresiasi sepak bola tentu berbeda dengan mengapresiasi bola voli, bola basket, dan lain-lain yang punya aturan berbeda-beda meski sama-sama memainkan bola (Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, Rajawali, Jakarta, 1987).
Kedua, filsafat eksistensialisme. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa banyak pemikir maupun filsuf besar eksistensialisme, seperti Albert Camus yang sebenarnya lebih dikenal sebagai sastrawan, adalah penggemar sepak bola yang kerap menimba ilham dari
sumur hikmah luas olahraga tersebut. Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang meyakini manusia punya kebebasan penuh dalam menentukan jatidirinya di dunia lewat penerapan kehendak bebas dalam tindakannya memilih. Tidak ada pihak luar mana pun selain pribadi yang bersangkutan bisa menentukan jalan takdir bagi sang pribadi. Manusia adalah majikan bagi tuannya sendiri, meskipun dia terlahir di dunia ini di luar kehendaknya (Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, Pustaka Jaya, 1994).
Sebagai contoh, Albert Camus dalam Mite Sisifus (terjemahan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999) menyatakan bahwa manusia sejatinya gamang menjalani hidup karena dia terlahir di dunia ini begitu saja. Oleh karena itu, manusia khawatir akan menjalani hidup ini secara sia-sia karena tidak tahu apa yang akan menantinya setelah wafat nanti. Meskipun demikian, lanjut Camus, manusia harus meneladani kisah Sisifus dalam Yunani yang setia menggelindingkan batu dari atas ke bawah sebagai hukuman dari dewa karena mencuri api pengetahuan. Sisifus tetap menjalani hukuman itu karena tugas menggelindingkan batu itulah yang menjadi makna eksistensinya. Dalam kata-kata Camus sendiri, "kita harus tetap membayangkan Sisifus bahagia."
Artinya, manusia tetap harus mengisi hidupnya dengan pelbagai kegiatan positif dalam cara yang terbaik demi memberikan makna bagi eksistensinya di dunia, pun jika ia tidak tahu apa nasib dia setelah meninggalkan dunia fana ini. Dan bukankah ini selaras dengan seloroh orang tentang sepak bola yang menjadi inspirasi Camus: buat apa 22 orang pemain berlelah-lelah mencari-cari dan berebut bola di lapangan hijau hanya untuk kemudian menendangnya kembali? Dengan kata lain, sepak bola memang bukan olahraga biasa. Sepak bola adalah permainan sekaligus wahana paripurna bagi manusia untuk berkaca dan bermenung tentang kehidupan. Tak heran begitu banyak orang ramai mempergunjingkan serba-serbi soal olahraga ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI