Selama ini, keberadaan uang receh dianggap sebelah mata. Coba saja, kita pada umumnya segan memungut uang recehan bernominal Rp25, Rp50, Rp100, Rp200, atau bahkan Rp1.000 yang tergeletak di tanah. Juga, uang receh kerap digantikan permen sebagai uang kembalian ketika berbelanja di toko kelontong atau minimarket.
Padahal, sesuai prinsip peribahasa "sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit", uang receh bisa menjadi alat efektif untuk memberdayakan kekuatan sosial dan ekonomi masyarakat. Sebagai contoh, aksi pengumpulan koin untuk membayari denda vonis pengadilan Prita Mulyasari kepada sebuah rumah sakit beberapa belas tahun lalu ternyata mampu menghasilkan jumlah uang fantastis lebih dari Rp 300 juta! Sekaligus, ini menjadi simbol kekuatan masyarakat madani (civil society), yang salah satu inti definisinya adalah "kekuatan penyeimbang negara" (Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani, Rajawali, 1999). Artinya, masyarakat dengan uang recehnya ternyata bisa membantu atau bahkan mengkritisi peran negara dalam mengurusi perekonomian.
Karena itu, penting bagi bangsa ini untuk membangkitkan signifikansi uang receh sekaligus menggulirkan gerakan pemberdayaannya. Ketika uang receh yang terkumpul sudah cukup banyak, para penggiat gerakan ini kemudian bisa melakukan lobi terhadap berbagai institusi, seperti institusi sosial, pendidikan, dan ekonomi untuk menerima hasil akumulatif koin itu untuk berbagai transaksi, seperti untuk membiayai beasiswa pendidikan dan anak tidak mampu di satu sekolah, membayari iuran listrik atau air yayasan yatim piatu, memberi makan bagi para kaum miskin, membuka rekening tabungan bagi para kaum manula, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, sekarang ini banyak platform crowdfunding menggalang dana untuk berbagai keperluan sosial yang bisa dilakukan oleh setiap donatur mulai dari uang Rp 1.000 saja alias uang receh.
Mengurangi inflasi
Di sisi lain, pemberdayaan uang receh punya manfaat tambahan. Yaitu, gerakan ini bisa mengurangi potensi inflasi. Ini menjadi sangat relevan saat ini di mana banyak negara, termasuk Indonesia, sedang dibayang-bayangi ancaman inflasi akibat melambungnya harga bahan pokok dan energi di tengah maraknya situasi geopolitik dunia maupun anomali cuaca seperti panas ekstrem akibat pemanasan global.
Selama ini, kita menganggap sebelah mata keberadaan uang receh. Uang logam dianggap tak berarti. Padahal, pandangan remeh terhadap uang receh inilah yang menyebabkan pelaku ekonomi melakukan pembulatan harga transaksi. Kemudian, karena pelaku ekonomi secara fitrah merupakan makhluk yang mementingkan laba alias keuntungan, pembulatan harga transaksi itu pastilah pembulatan ke atas hingga menyebabkan inflasi lebih tinggi daripada seharusnya.
Sebagai ilustrasi, kita berandai-andai berbagai kenaikan harga tarif---mulai dari harga bahan pokok, tarif tol, listrik, dan lain sebagainya---berujung pada kebijakan para pengusaha angkutan umum kota (angkot) menaikkan tarif sebesar 10 persen. Namun praktiknya di lapangan nanti, jika kita biasa naik angkutan kota dengan tarif Rp4.000, yang terjadi bukanlah kenaikan tarif menjadi Rp4.400 atau Rp4.000 plus Rp400 (10% x Rp4.000), melainkan Rp4.500 atau bahkan Rp5.000. Apa pasalnya? Karena uang Rp400 dianggap remeh, ribet perhitungannya, lagi susah persediannya untuk ditransaksikan. Akhirnya, terjadilah pembulatan ke atas kenaikan tarif angkutan umum sebesar Rp500 rupiah -- Rp1.000 alias 12,5 -- 25 persen dari Rp4.000 alih-alih 10 persen seperti diproyeksikan secara teoretis dari balik meja. Alhasil, angka inflasi langsung melambung hingga dapat mencapai titik yang menggerus simpanan sekaligus daya beli rakyat.
Contoh sederhana ini menunjukkan betapa meremehkan uang receh bisa bergulir bak bola salju (snowballing) menjadi ledakan inflasi. Nah, gerakan pemberdayaan uang receh seperti tersebut di atas akan berfungsi memuliakan martabat uang logam, sehingga uang logam sekecil apa pun hingga nominal Rp1.000 dianggap berarti, punya makna, dan layak digunakan sebagai alat transaksi sehari-hari. Anak-anak juga bisa diajari menabung uang logam ke dalam celengan untuk berbagai keperluan di masa depan.
Dengan demikian, uang receh senantiasa bakal berguna dan kita sebagai manusia akan selalu punya secercah optimisme: uang sekecil dan tindakan seremeh apa pun akan memiliki manfaat sosial berdampak  besar asalkan kita punya niat ikhlas untuk membantu sesama. Sekaligus, uang sekecil apa pun ternyata juga akan menimbulkan dampak ekonomi makro luas berupa teredamnya angka inflasi.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H