Bagi mereka yang mendambakan liburan, tahun 2025 laksana surga. Pasalnya, ada 10 hari cuti bersama yang melengkapi 17 hari libur nasional. Artinya, ada sejumlah momen kita mengalami libur panjang beberapa hari berturut-turut! Ini adalah tradisi klasik pemerintah, yang biasanya berlindung di balik alasan ingin memanfaatkan momentum mengerek perekonomian. Â
Sepintas, alasan pemerintah masuk akal. Namun dalam jangka panjang, kebijakan cuti bersama secara lama ini menimbulkan dilema antara potensi manfaat ekonomi dan petaka akibat konsumsi. Adapun akar dilema ini bisa dilacak pada mentalitas umum manusia Indonesia.
Mentalitas umum
 Tan Malaka dalam Madilog (Narasi, 2017) mengemukakan budaya bangsa Indonesia secara umum irasional dan emosional. Ini juga disesalkan oleh Mochtar Lubis. Dalam pidato kebudayaannya "Manusia Indonesia" di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 6 April 1977, Lubis mengemukakan beberapa stereotip sifat manusia Indonesia: enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, feudal, percaya takhayul, dan berbakat seni.
Sementara itu, Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Gramedia, 1974) mengungkapkan bahwa mentalitas manusia Indonesia secara umum bercorak tak percaya kepada diri sendiri, tak mau bertanggung jawab, dan bermentalitas menerabas. Intisari ketiga pemikir di atas adalah, manusia Indonesia pada umumnya emosional dan memiliki mentalitas menerabas (instan) yang lebih mementingkan hasil ketimbang proses. Juga, mementingkan konsumsi ketimbang produksi.
 Dari sini, berlama-lama cuti bersama akan berbahaya karena berkombinasi dengan mentalitas emosional, konsumtif, dan instan. Sebab, kebiasaan konsumtif emosional inilah yang sempat memicu krisis finansial global.
Potensi Krisis
Peter Schiff (How an Economy Grows and Why It Crashes, Serambi, 2010) menguraikan bahwa kunci pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, bukan konsumsi. Sebab, produktivitaslah yang menghasilkan komoditas tambahan sehingga orang bisa menabung kelebihan dari kebutuhan konsumsinya (surplus). Lewat penghimpunan tabungan dan investasi masyarakat, satu bangsa akan mendapati ekonominya tumbuh pesat guna memberikan kesejahteraan bagi seluruh warga.
Hanya saja, lambat laun masyarakat bisa terjebak pada perangkap gaya hidup nyaman yang menggoda mereka terus mengkonsumsi tapi dengan mengabaikan produktivitas. Jadi, pertumbuhan ekonomi dan gaya hidup enak dapat melenakan masyarakat sehingga mereka hanya mau hidup nyaman tanpa bekerja keras. Ini tambah berbahaya jika bersenyawa dengan apa yang disebut Kuntowijoyo ("Mentalitas Klien", 2004) sebagai mentalitas klien bercirikan 'sindrom selebriti'. Maksudnya, kita merasa bangga bak selebriti jika pandangan mata tertuju pada kita karena konsumsi barang mewah yang kita lakukan.
Alhasil, persekutuan budaya konsumtif, mentalitas instan, dan mentalitas klien akan bermuara pada pendewaan materi dan konsumsi berlebihan. Tragisnya, semua itu tidak diiringi kerja keras demi menggapai uang yang dibutuhkan guna memuaskan dahaga materi itu. Akibatnya, masyarakat tergoda mencari kredit konsumtif. Padahal, merujuk Ahamed Kameel Mydin (Perampok Bangsa-Bangsa, Mizan, 2010). suplai uang yang dibiakkan lewat kredit konsumtif membabibuta hanya akan menghasilkan kenaikan harga apabila tidak dibarengi peningkatan produktivitas kerja. Jika itu terjadi, suatu bangsa akan mendapati diri mereka perlahan "dirampok" dan "termiskinkan" karena masyarakatnya terlilit utang dan krisis percaya diri akibat gagal bayar. Dan, jika gagal bayar itu terjadi secara massal, industri finansial pun ikut terseret dan membawa perekonomian negara menuju krisis seperti didalilkan Paul Krugman (Return of Depression Economics, Penguin, 1999).
Karena itu, kebijakan cuti bersama panjang mengandung potensi bahaya karena hanya melihat dari sisi pertumbuhan konsumsi, tapi tidak dari produktivitas. Semoga di tahun-tahun mendatang pemerintah bisa meninjau kembali kebijakan ini agar Indonesia bisa mencapai pertumbuhan yang berkualitas. Bukan pertumbuhan instan semu laksana bom waktu yang bisa meledak suatu saat nanti dalam bentuk krisis ekonomi.