Memasuki 2025, warga Indonesia punya alasan untuk agak pesimistis. Pasalnya, negeri ini masih menghadapi tantangan serius. Sebab, tingkat kesenjangan yang dicerminkan rasio Gini masih berada di angka 0,38. Selain itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melorot hingga mencapai kisaran 16.000. Padahal, pelemahan rupiah ini bisa berujung pada melambungnya harga (inflasi) akibat banyak komoditas pokok dan bahan mentah yang harus diimpor (imported inflation).Â
Maka itu, Indonesia harus menyiapkan strategi matang untuk mengatasi segala tantangan ekonominya. Strategi matang itu tentu harus diawali dengan asumsi filosofis mendasar tentang manusia sebagai aktor pelaku ekonomi. Dengan kata lain, kita harus mendefinisikan terlebih dulu apa itu manusia ekonomi Indonesia. Â
Asumsi neoliberalisme
Cara termudah mendefinisikan manusia ekonomi Indonesia adalah dengan menghindari dulu asumsi dasar tentang manusia ekonomi buruk. Setidaknya ada lima asumsi filosofis manusia ekonomi dengan dampak negatif. Sebab, kelimanya menjalin paham neoliberalisme yang hanya mementingkan akumulasi modal seraya memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi (disadur dari B. Herry Priyono, Memburu Manusia Ekonomi, Kompas, 2022). Pertama, perilaku manusia ekonomi digerakkan oleh kepentingan diri semata. Kedua, karena itu manusia ekonomi bersifat egois (self-centeredness) yang hanya fokus pada konsekuensi tindakan bagi dirinya sendiri.
Ketiga, manusia ekonomi neoliberal menjadikan kalkulasi rasional sebagai perangkat utama untuk memenuhi hasratnya. Tidak ada ruang bagi simpati atau sentimen emosional. Keempat, manusia ekonomi neoliberal memiliki hasrat menggebu akan harga dan kegunaan material. Kelima, adanya kolonisasi atau penyebarluasan pola pikir ekonomi ke bidang lain, seperti hukum, politik, dan lain sebagainya.
Berbekal kelima asumsi manusia ekonomi neoliberal di atas, kita bisa meraba dampak buruknya. Efek merusak paling utama adalah adanya totalitas pola pikir ekonomi ke segala bidang. Harkat dan hakikat manusia yang sejatinya multidimensional justru diciutkan menjadi unidimensional alias satu dimensi, yaitu dimensi ekonomi-material semata. Inilah yang disebut filsuf Herbert Marcuse sebagai tragedi One Dimensional Man (Beacon Press, 1964).
Manusia dinilai semata karena prestise dan status finansial-ekonominya, karena barang yang dimilikinya. Kemudian, suatu negara hanya dianggap sejahtera karena indikator makro ekonomi, terutama pertumbuhan ekonomi, yang moncer tanpa memerhatikan aspek pemerataan. Juga, segala sesuatu dianggap punya harga yang bisa dibeli dengan uang, termasuk vonis keadilan, suara pemilih dalam pemilu, dan lain sebagainya. Artinya, manusia menjadi terdehumanisasi alias tidak lagi menjadi manusia sejati. Manusia neoliberal menjadi manusia hampa makna yang hanya sibuk mengejar materi dunia dan segala simbol yang menyertainya tanpa peduli dengan nasib sesama dan kualitas lingkungan yang mereka eksploitasi. Timbullah kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan, kehidupan sosial-politik yang tak beradab, dan aneka dampak buruk lain.
Lantas, ketika kelima perangkap di atas sudah kita kenali, bagaimana definisi manusia ekonomi Indonesia yang ideal? Pertama, kita kembali ke definisi awal ekonomi atau oikonomikos menurut Xenophon lebih dari 2000 tahun lalu, yaitu sebagai sumber penghidupan keluarga semata. Artinya, manusia ekonomi harus memandang perekonomian lebih sebagai soal memenuhi kebutuhan hidup secara cukupan (subsistensi), tidak berlebih secara eksploitatif. Alhasil, tata perekonomian harus menganut prinsip keberlanjutan (sustainability) dan kebersamaan. Ini melahirkan pentingnya prinsip demokrasi ekonomi di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah penilikan anggota-anggota masyarakat.
Kedua, sebagaimana diingatkan Moebyarto (Ekonomi Pancasila, LP3ES, 1987), manusia ekonomi tidak hanya digerakkan oleh rangsangan ekonomi dan sosial, tapi juga oleh rangsangan moral. Ini adalah penyeimbang bagi asumsi manusia ekonomi neoliberal yang hanya mementingkan kalkulasi rasional. Dengan adanya rangsangan moral, manusia ekonomi Indonesia akan memiliki rasa simpati, semangat filantropi (membantu), dan persetujuan terhadap kebijakan subsidi, bagi mereka yang berkekurangan.
Ketiga, manusia ekonomi Indonesia harus bahu membahu mewujudkan negara kesejahteraan universalis. Merujuk Triwibowo dan Bahagiyo (Negara Kesejahteraan, LP3ES, 2006), inilah negara yang memberikan cakupan jaminan sosial yang universal dan kelompok target yang luas serta tingkat dekomodifikasi yang ekstensif. Dekomodifikasi sendiri adalah pembebasan warga dari mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan lewat perangkat kebijakan sosial yang disediakan oleh negara. Kebijakan itu sendiri bisa berupa layanan kesehatan gratis, subsidi bagi warga miskin, dan lain sebagainya. Hal ini biasanya diwujudkan lewat kebijakan pajak berkeadilan di mana mereka yang berpendapatan lebih besar diharuskan membayar pajak lebih besar juga.
Jika ketiga asumsi dasar di atas bisa disepakati, niscaya Indonesia bisa menjadi negara dengan pertumbuhan tinggi yang berkualitas. Semoga!