Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Politik Kafka Negeri Kita

7 Januari 2025   19:24 Diperbarui: 7 Januari 2025   18:29 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

'Waduh,' sambat si tikus, 'dunia semakin sempit kian harinya. Awalnya, dunia begitu luas hingga menakutkanku. Aku berlari terus dan girang saat akhirnya di kejauhan melihat tembok di sebelah kanan dan kiri. Tapi tembok-tembok panjang itu lalu bergerak mendekat demikian cepat sehingga aku tahu-tahu sudah ada di ruang terakhir. Di sudut ruangan, terlihat sebuah perangkap tempat aku terjebak masuk ke dalamnya.' 'Kau harusnya tinggal lari ke arah berbeda,' kata si kucing, yang lantas menyantap si tikus.

Cerita mini di atas berjudul "A Little Fable" (Sebuah Fabel Mungil), karangan sastrawan besar Jerman Franz Kafka (1883-1924) yang, menurut John Williams dalam pengantar untuk buku Essential Kafka (2014), terkenal dengan karya-karyanya yang menggambarkan penyakit dunia modern: alienasi eksistensial, rasa terisolir dan tidak aman, labirin birokrasi negara, sifat korup atau penyimpangan kekuasaan totaliter, dan kerumitan sistem hukum yang sulit diurai.

Fabel itu nampaknya cocok menggambarkan kondisi politik Indonesia akhir-akhir ini. Negeri yang sudah merintis proyek Reformasi selama lebih dari seperempat abad dan memilih demokratisasi sebagai jalan berbangsa dan bernegara, tiba-tiba mendapati kepengapan iklim politik alias merasa kurang bebas lagi. Ini terbukti dari turunnya berbagai indeks demokrasi di Indonesia.  

Cerita Kafka pun menjadi sangat mengena bagi kita. Masyarakat sipil bagaikan tikus yang tadinya bahagia menikmati luasnya dunia alias kebebasan di era Reformasi, kini mendapati kebebasan itu dihimpit. Padahal dalam negara republik seperti Indonesia, negara harusnya menganut Republikanisme. Menurut Robertus Robet dalam Republikanisme (2021), inilah suatu paham yang menekankan peran partisipasi kewarganegaraan dan keterlibatan aktif warga untuk mencapai keutamaan dan membela kebebasannya. Republikanisme juga menganjurkan keterlibatan dalam berbagai aktivitas politik langsung dalam rangka mencapai kehidupan yang baik. Adapun sarana bagi warga negara untuk melakukan itu tentu saja adalah kebebasan, yang kini justru tampak sedang mengalami proses pengikisan.

Jika proses pengikisan ini dibiarkan, masyarakat lama-lama akan tergiring masuk ke dalam perangkap suatu sistem yang secara kosmetik dan institusional tampil sebagai demokrasi, tapi bukan demikian kenyataannya. Apabila masyarakat mengajukan protes terkait suatu produk legislasi yang dirasa bermasalah misalnya, negara tinggal mengatakan bahwa warga bisa mengambil jalan berbeda---seperti arahan kucing dalam cerita Kafka---dengan mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, logikanya suatu produk legislasi harusnya dibuat begitu bermutu dengan proses sangat demokratis sehingga nyaris menutup celah untuk digugat di MK. Meminta masyarakat pengkritik, yang jumlahnya tidak sedikit, mengajukan uji materi di MK sebetulnya suatu pengakuan implisit bahwa produk legislasi itu disahkan secara tergesa-gesa dan perbaikan silakan dilakukan sambil jalan melalui uji materi.

Lagi pula, proses uji materi adalah proses yang cukup panjang, berbelit, dan memakan biaya juga. Ini kembali selaras dengan keprihatinan kisah-kisah Kafka, terutama dalam dua karya panjang monumentalnya The Trial dan The Castle, terkait isu labirin birokrasi negara, penyimpangan kekuasaan, dan kerumitan sistem hukum yang dalam perspektif Republikanisme justru mengisolir rakyat dari akses untuk berpartisipasi memperjuangkan hak-hak demokratisnya.

Negara harus keluar dari keabsurdan praktik politik Kafkaesque-nya. Jika tidak, masyarakat akan kian pesimistis, apatis, dan ujung-ujungnya secara sosiologis berpotensi anarkistis. Dan, kita tentu tidak mau itu terjadi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun