Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Krisis Lingkungan dan Ukhuwah Makhluqiyyah

7 Januari 2025   18:12 Diperbarui: 7 Januari 2025   18:12 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di era serbaindustri saat ini, segala kemajuan umat manusia tidak hanya membawa dampak positif, tapi juga negatif. Salah satunya adalah kerusakan lingkungan karena eksploitasi habis-habisan sumber daya alam demi memenuhi keinginan manusia yang seakan tiada habisnya. Bahaya pemanasan global beserta beraneka bencana alam yang mengiringinya, seperti angin badai, banjir, panas ekstrem, dan sebagainya adalah sejumlah contoh. Pemanasan global adalah pencairan es di kutub utara dan selatan hingga menaikkan permukaan laut sekaligus menimbulkan perubahan iklim plus munculnya badai hebat di mana-mana. Adapun kontributor utama pemanasan global adalah aktivitas industri yang masif dan penggunaan energi fosil berlebihan.

Bahaya lain adalah mulai masuknya berbagai macam satwa liar dan ganas ke pemukiman manusia, sehingga kerap memunculkan konflik antara hewan dan manusia. Padahal, merangseknya para hewan tersebut sering kali justru karena habitat mereka tergusur oleh pemukiman manusia sebagai pendatang atau oleh ekspansi berlebih industri real-estate demi mengeruk keuntungan sempit.

Tak kalah mengerikan adalah fakta bahwa eksploitasi alam tersebut juga berujung pada kemunculan ragam penyakit baru, seperti wabah Corona (Covid-19) yang baru saja kita lewati. Pasalnya, salah satu hipotesis kuat asal-usul Corona adalah karena ulah manusia yang mengonsumsi jenis satwa yang tidak semestinya dikonsumsi sehingga terjadi penularan dari hewan ke manusia (zoonosis).

Memang, segala sesuatu yang berlebihan itu tidaklah baik, termasuk eksploitasi alam habis-habisan. Dalam konteks pemikiran Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia dan nomor dua di dunia, Islam sebenarnya sangat mengecam keserakahan manusia yang menganggap alam itu sekadar alat untuk memuaskan nafsu berlebihnya. Sebab, Islam mengajarkan bahwa sesungguhnya makhluk ciptaan Allah yang ada di alam semesta ini sama seperti manusia, yaitu sebagai umat Allah. Tengoklah firman Allah, "Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan." (QS. 6:38).

Artinya, Islam tidak hanya mengajarkan persaudaraan sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan antara warga negara (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan antara sesama umat manusia (ukhuwah basyariyah/insaniyah) sebagaimana yang umum dikenal. Melainkan, Islam juga mengutamakan persaudaraan sesama makhluk ciptaan Allah yang disebut sebagai ukhuwah makhluqiyyah. Merujuk disertasi Nur Arfiyah Febriani dalam Ekologi Berwawasan Gender (2014), pengamalan ukhuwah makhluqiyyah ini akan membuahkan interaksi harmonis antara manusia dan alam, sehingga menghasilkan reaksi positif dari alam terhadap manusia. Sebaliknya, melanggar etika dalam ukhuwah makhluqiyyah sama saja memprovokasi alam untuk melanggar fungsinya bagi manusia, sehingga terciptalah berbagai bencana alam sebagai balasan dan peringatan bagi manusia seperti yang kita alami saat ini.

Etika Bumi

Dalam etika lingkungan Barat, konsep ukhuwah makhluqiyyah ini selaras dengan etika bumi (land ethics) dari Aldo Leopold. Dalam The River of the Mother God (1991), Leopold menjelaskan bahwa bahwa etika ini bertumpu pada asumsi bahwa individu adalah anggota dari satu komunitas yang terdiri atas komponen-komponen yang saling tergantung.

Artinya, etika Bumi mengajari kita untuk memperluas batasan komunitas tidak hanya berlaku pada sesama manusia, tapi juga mencakup tanah, air, flora, fauna, dan Bumi itu sendiri. Dengan demikian, etika Bumi menjelaskan adanya perubahan peran Homo Sapiens (manusia) dari penakluk Bumi menjadi sekadar salah satu anggota Bumi yang harus menghormati sesama dengan tidak mengeksploitasinya.  

Karena itu, sudah saatnya manusia mengindahkan ajaran universal Islam ukhuwah makhluqiyyah---yang mendahului Etika Bumi di Barat---untuk menghormati alam dengan mengambil secukupnya saja dari alam dan mengadopsi pola hidup tidak berlebihan. Dengan begitu, manusia bisa memenuhi tugasnya sebagai khalifah di dunia ini sekaligus terhindar dari berbagai bencana alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun