Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Filsafat Stoa dan Ekonomi Indonesia

6 Januari 2025   18:16 Diperbarui: 6 Januari 2025   18:16 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sekarang ini, banyak warga di Indonesia mengeluh soal kian beratnya beban ekonomi. Sebab, beberapa indikator ekonomi memang mencemaskan: nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang kini mencapai Rp 16.000-an, daya beli yang menurun, hingga kenaikan sejumlah harga bahan pokok. Kenaikan harga bahan pokok adalah yang terpenting karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Ujung-ujungnya, data Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa kian banyak orang Indonesia yang hidupnya semakin 'mantab' alias makan tabungan karena penghasilan bulanan mereka tidak mencukupi kebutuhan pengeluaran.

Oleh karena itu, di tengah prospek ekonomi dunia yang juga masih muram karena beberapa faktor seperti konflik Timur Tengah antara Israel dan Palestina maupun keberlanjutan peperangan antara Rusia dan Ukraina, kita di Indonesia pun mesti mewaspadai potensi terjadinya gelombang kesedihan. Bangsa ini mesti memiliki pegangan untuk menghalau potensi tersebut karena kesedihanberisiko menyebabkan eskalasi sejumlah masalah sosial, seperti: meningkatnya tindak kejahatan, tingginya angka bunuh diri, melonjaknya perceraian rumah tangga, memburuknya kesehatan, dan lain sebagainya. Sebagai alternatif pegangan itu, kita bisa belajar dari filsafat Stoa.

Selaras dengan Alam

Filsafat Stoa atau Stoikisme (stoicism) adalah salah satu pemikiran besar dalam peradaban dunia. Stoikisme memiliki sejarah merentang hingga empat abad yang bermula dari Stoikisme Yunani dan berakhir pada era Kekaisaran Romawi. Dua tokoh utama filsafat Stoa adalah Marcus Aurelius dengan buku Meditations dan Lucius Seneca dengan karyanya Letters from a Stoic.

Secara garis besar, filsafat Stoa meyakini bahwa Rasio ilahi (divine reason) menata segala sesuatu di dunia secara serasi dan selaras. Dalam konteks individu, filsafat ini berarti mengajarkan manusia untuk berperilaku sesuai dengan hukum alam dan apa yang baik (virtuous). Adapun kebahagiaan manusia ada pada kesediaan menerima fakta bahwa manusia adalah bagian dari semesta yang lebih luas dan bahwa ada yang namanya penyelenggaraan Ilahi.

Ketika menyebar ke imperium Romawi, filsafat ini langsung populer karena memberikan panduan untuk menjalani kehidupan bermasyarakat. Faktor lain adalah karena filsafat Stoa meyakini adanya rasio manusia sekaligus Rasio Ilahi, dan ini menepis pandangan bahwa nasib manusia sepenuhnya dikendalikan oleh takdir yang acak. 

Menurut Seneca, manusia harus hidup sesuai dengan kaidah alam, bukan kaidah nafsu. Bagi Seneca, nafsu alamiah sifatnya terbatas, sementara nafsu yang datang dari opini-opini keliru kita tentang diri kita sendiri bersifat tidak terbatas. Seneca menganalogikan nafsu manusia dengan seorang pengembara. Ketika kita sudah tahu tujuan perjalanan kita secara jelas, perjalanan kita pasti ada titik akhirnya alias terbatas. Sebaliknya, bila kita tersesat, maka perjalanan kita tidak akan pernah berhenti atau tidak terbatas. Jadi, untuk mengetahui apakah segala perburuan materi dan upaya bertahan hidup kita sesuai dengan kaidah alam, kita harus merenungkan apakah kerja kita bisa berhenti di satu titik. Jika kita merasa bahwa setelah kita berjalan jauh tetap ada tujuan terbentang nun di sana yang ingin kita gapai, itu adalah kondisi yang sudah menyimpang dari kaidah alam dan akan menjauhkan kita dari kebahagiaan.

Dalam konteks situasi ekonomi saat ini, ajaran Seneca mengajari kita untuk hidup seimbang secara materi. Maksudnya, manusia tidak boleh mendewakan materi, tapi juga jangan terlalu membencinya. Manusia tidak boleh terjebak pada pola hidup konsumtif yang mementingkan citra, gengsi, dan status sosial seperti marak dalam praktik pamer (flexing) saat ini. Apalagi jika pembiayaan konsumsi itu menggunakan utang. Jika ini dilakukan, kita telah menyalahi ajaran filsafat Stoa untuk tidak mengikuti nafsu liar tak terkendali.

Sebaliknya, kita harus mulai mengadopsi frugalitas alias sikap hemat, menggalakkan penghimpunan tabungan, dan menggiatkan produktivitas. Kita bisa merujuk rumus ekonomi klasik: M(oney) x V(elocity) = P(rice) x Y (productivity). Artinya, harga-harga (price) tidak akan melambung secara berlebihan apabila kita tidak kalap secara membabi-buta (velocity/kecepatan) mencari utang (money) dalam membeli barang, melainkan tekun bekerja (productivity/produktivitas) guna mendapatkan aset riil untuk membayar apa yang kita beli.

Prinsip jangan membabi-buta mengikuti nafsu dan bahwa kekayaan hanya datang dari produktivitas---terutama produktivitas cerdas (smart work)---harusnya membuat kita tidak perlu terlalu panik yang justru membuat kita rentan terhadap beraneka tawaran jalan pintas kesuksesan seperti modus penipuan tawaran menggiurkan investasi bodong atau hadiah menang undian yang marak belakangan ini. Sebaliknya, teruslah berikhtiar mencari kesempatan dan peluang kerja atau usaha apa pun yang bisa mendatangkan uang. Intinya, berfokuslah pada hal-hal yang ada di dalam kendali kita ketimbang sibuk memikirkan hal-hal di luar kendali kita.

Yakinlah bahwa jika satu pintu keluar tertutup, selalu ada pintu keluar jendela lain yang terbuka untuk keluar dari masalah. Dalam ilmu manajemen, keyakinan seperti ini adalah bagian dari mentalitas memantul (bouncing mentality) yang diperlukan dalam menghadapi setiap krisis (Keith McFarland, Bounce, 2012).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun