Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kontribusi Filsafat untuk Bahasa Indonesia

6 Januari 2025   17:12 Diperbarui: 6 Januari 2025   17:08 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Filsafat selama ini dikenal sebagai satu disiplin ilmu yang tidak konkret dan memiliki bahasa khusus yang rumit. Padahal, jika berbicara soal bahasa Indonesia, disiplin filsafat justru sudah memberikan beberapa sumbangan berharga bagi pengayaan kosa kata bahasa nasional ini.

Sebagai contoh, Mudji Sutrisno (“Snobisme Bahasa”, Intisari, Oktober 2005) mencatat Romo Drijarkara sebagai tokoh yang rajin mencari kata kunci filsafat guna memperkaya bahasa Indonesia. Salah satunya, Romo Drijarkara memperkenalkan istilah “pembudayaan” sebagai proses menjadi matang manusiawi. Maksud dari matang manusiawi adalah satu pribadi tidak hanya mengalami ‘homonisasi’ proses kemandirian biologis anak, seperti makan dan berganti pakaian sendiri, tapi juga humanisasi dalam artian proses dewasa secara kebudayaan lewat proses pendidikan. Drijarkara juga mengajukan kosa kata ‘biologis-mandiri’ untuk menggantikan kata ‘homonisasi’ yang terkesan sangat akademis. Secara lengkap, proses pembudayaan ini lantas merujuk pada “proses pemanusiawian manusia muda”.

Kemudian, Drijarkara memperkenalkan kata ‘menidak’ dalam kosa kata  Indonesia. Inilah kosa kata yang kira-kira bermakna “kegiatan manusia untuk melawan realitas terberi guna mencari eksistensinya sendiri.” Sumbangan Drijarkara ini akan terpahami lebih jernih jika kita tempatkan dalam pemikiran filsuf eksistensialisme, Jean-Paul Sartre. Merujuk Harun Hadiwijono dalam Sari Sejarah Filsafat Barat (Kanisius, 1980), Sartre membedakan modus eksistensi segala hal di dunia ini menjadi dua: être-en-soi dan être-pour-soi. Yang pertama adalah benda yang eksistensinya sudah terberi dalam dirinya sendiri. Biasanya, ini berupa benda mati, katakanlah batu, meja, kursi, dan lain sebagainya, atau makhluk hidup tak berakal seperti hewan dan tumbuhan. Sebab, mereka hanya bisa menerima eksistensi yang sudah terberikan kepada mereka tanpa bisa mereka modifikasi atau ubah.

Sementara modus eksistensi kedua berlaku kepada manusia. Sebagai makhluk berakal, manusia dapat menimbang dan memilih jalan hidupnya sendiri. Mereka bisa mengisi eksistensi mereka lewat pilihan-pilihan yang mereka buat sepanjang hidup. Pendek kata, mereka bisa ‘menidak’ realitas mereka saat ini. Sebagai contoh: anak pasangan dokter yang diharapkan orangtuanya juga menjadi dokter dapat menidak realitas dia sebagai anak dokter yang wajib mengikuti karier kedua orangtuanya. Sebaliknya, dia bisa memilih menjadi musisi, pengacara, dan lain sebagainya. Inilah yang kemudian terangkum dalam kalimat inti dari filsafat eksistensialisme, yaitu “eksistensi mendahului esensi, bukan esensi yang mendahului eksistensi” (Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, Pustaka Jaya, 1992).

Dalam cabang filsafat metafisika, filsafat pun menyumbangkan dua kata khas, yaitu Nan Ada dan pengada. Nan Ada adalah padanan dari kata Being (dengan B besar), yang merupakan Realitas Ultim yang ingin dicapai oleh spekulasi nalar filosofis manusia. Di sisi lain, mengada merupakan terjemahan dari kata being (dengan b kecil), yang merupakan entitas-entitas turunan Nan Ada yang memiliki esensi masing-masing. Dalam ilmu filsafat, metafisika berbicara soal Nan Ada, sementara ontologi membahas soal pengada.

Pembedaan antara Nan Ada dan pengada ini penting saat kita membahas metafisika dari Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman terkemuka yang mengulas soal realitas (F Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, Penerbit Buku Kompas, 2016). Poros pemikirannya adalah membedakan antara Nan Ada (Sein) dan pengada (Seindes).  Semua realitas seperti meja, langit, alam semesta, galaksi, manusia, dan lain-lain adalah contoh dari pengada-pengada. Sementara itu, Nan Ada adalah yang melampaui segala pengada. Boleh dibilang, Nan Ada adalah sesuatu yang menopang dan memungkinkan adanya pengada-pengada.

Di sini, manusia kemudian memiliki posisi sebagai pengada yang unik karena ia adalah pengada-yang-terbuka-terhadap-Nan Ada. Apa maksudnya? Manusia adalah satu-satunya pengada yang bisa mempersoalkan mengapa ia ada begitu saja di dunia ini, sebuah situasi yang oleh Heidegger disebut sebagai ‘faktisitas’ alias keterlemparan manusia begitu saja ke dunia tanpa bisa memilih. Sementara, pengada-pengada selain manusia tidak mempersoalkan faktisitas mereka sehingga pengada-pengada lain itu seolah-olah tertutup pada dirinya sendiri. Berbeda dengan pengada-pengada lain, manusia senantiasa dalam proses ‘menjadi’ karena ia belum ada secara penuh. Itulah makanya eksistensi manusia disebut sebagai kemungkinan yang tak terbatas.

Terakhir, penulis menemukan satu kosa kata menarik dari seorang penerjemah senior Indonesia, Alfons Taryadi. Dalam skripsi sarjananya di Jurusan Filsafat FSUI (sekarang FIB UI) yang dibukukan dan dianggap berkualitas setara disertasi doktoral, Rasionalisme Kritis Karl Poppper (Gramedia Pustaka Utama, 1986), Alfons Taryadi memperkenalkan kata ‘keparakan’ bagi terminologi verissimilitude. Inilah istilah filsafat ilmu pengetahuan yang mengatakan bahwa manusia dengan rasionya tidak akan pernah bisa mencapai kebenaran utuh. Paling jauh, rasio manusia hanya bisa bergerak mendekati kebenaran lewat metode ilmiah bernama falsifikasi. Artinya, selama satu hipotesis belum terbukti kesalahannya secara empiris (belum terfalsifikasi), maka hipotesis itu memiliki tingkat keparakan tinggi.

Contoh klasiknya, hipotesis semua angsa itu putih akan punya tingkat keparakan tinggi sebelum difalsifikasi oleh fakta bahwa ada satu ekor angsa berwarna hitam. Falsifikasi inilah yang di kemudian hari akan mengilhami pakar finansial Nassim Nicholas Taleb untuk membuat buku monumental laris tentang sejarah krisis ekonomi berjudul The Black Swan (Angsa Hitam).

Jadi, bisa kita lihat betapa filsafat di Indonesia selama ini punya sumbangan berharga bagi perkembangan bahasa Indonesia: pembudayaan, homonisasi (biologis-mandiri), menidak, Nan Ada, pengada, faktisitas, dan keparakan. Oleh karena itu, filsafat di Indonesia harusnya menjadi sebuah ilmu yang dihargai lebih tinggi, apalagi jika mengingat kedudukannya di awal peradaban Yunani (baca: Barat) sebagai mother of all sciences alias induk dari segala ilmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun