Salah satu kenyataan memprihatinkan dalam dunia politik kita adalah minimnya keberadaan oposisi. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini didukung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang berukuran jumbo karena berisikan hampir semua partai politik minus PDI Perjuangan (PDIP). Namun, tentu sulit mengharapkan PDIP bisa efektif memainkan perannya sebagai oposisi mengingat raihan suaranya yang hanya 16,73%.
      Minimnya oposisi ini jelas menyalahi sistem demokrasi yang sudah dilakoni negeri ini sejak reformasi 1998. Apalagi, demokrasi secara filosofis sebenarnya berasumsi bahwa pemerintah itu berpotensi jadi jahat, sehingga ia harus senantiasa diingatkan dan dikoreksi. Singkat kata, sistem demokrasi sejatinya berangkat dari renungan filosofis tentang kejahatan.
      Sebagaimana diungkapkan Amy Kittelstrom dalam The Religion of Democracy (Penguin, 2015), demokrasi Amerika Serikat (AS)—yang menjadi kiblat demokrasi dunia—sangatlah diwarnai ajaran agama, utamanya doktrin agama tentang kejahatan. Sebagai awal, ajaran agama Kristen Protestan yang dominan dianut masyarakat AS ingin merespons mengapa kejahatan tetap ada di muka bumi, terlepas dari keyakinan bahwa Tuhan adalah Sang Mahabaik. Harusnya jika benar Tuhan itu Mahabaik, tidak akan ada kejahatan di dunia ini.
      Menjawab keberatan itu, agama Protestan memaparkan bahwa justru kejahatan menandakan kebaikan Tuhan karena memberikan kehendak bebas kepada manusia. Maksudnya, Tuhan tidak menentukan secara semena-mena apakah individu A masuk surga atau neraka. Karena kalau begitu, Tuhan justru berlaku tidak adil dan umat-Nya akan berlaku fatalistis alias pasrah menerima takdir. Sebaliknya, ketika Tuhan memberi manusia kehendak bebas, manusia jadi bisa memilih apakah ia dalam perjalanan hidupnya memilih jalan kebajikan ataukah kejahatan. Artinya, manusia memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri.
      Di sisi lain, filsuf politik Jerman Carl Schmitt menawarkan pandangan sekular terkait relasi filsafat kejahatan dan kekuasaan. Dalam Dialogues of Power and Space (Polity Press, 2015), Schmitt menjelaskan bahwa konsep kekuasaan itu lahir dari perasaan tidak aman manusia akan kejahatan sesama manusia. Ketika kekuasaan dianggap datang dari hukum kodrat, perasaan tidak aman itu dirangkum dalam slogan homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya).
      Namun, seiring manusia kian berhasil menundukkan alam, manusia akhirnya bisa melepaskan konsep kekuasaan dari hukum kodrat. Sebagai gantinya, manusia pun terbagi antara kelompok yang memiliki kekuasaan untuk memberikan jaminan proteksi keamanan dan kelompok yang tidak. Slogannya lantas berubah dari homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya) menjadi homo homini homo (manusia adalah manusia bagi sesamanya). Slogan ini berarti bahwa manusia dianggap memiliki kedudukan setara sebagai manusia, hanya saja dalam perjalanannya ada manusia yang memiliki surplus kekuasaan lebih di atas manusia lain. Mereka yang memiliki defisit kekuasaan akhirnya sepakat (berkonsensus) untuk tunduk kepada penguasa yang memiliki surplus kekuasaan, tapi roda kehidupan bisa saja berputar ketika yang tadinya penguasa justru berbalik menjadi yang dikuasai.
      Konsep kehendak bebas dari filsafat kejahatan Protestan dan kontrak sosial kekuasaan berbasiskan filsafat kejahatan sekuler ala Carl Schmitt inilah yang menjadi sendi demokrasi. Berdasarkan dua konsep itu—kehendak bebas dan kontrak sosial—rakyat pada hakikatnya memiliki hak untuk menentukan sendiri kebijakan-kebijakan publik yang dianggap bermanfaat bagi mereka. Sekaligus, kehendak bebas membuat pemerintah tidak boleh bersikap otokratis dalam mengelola Negara.
     Kemudian, konsep kehendak bebas yang menampik kontrol berlebih pemerintah terhadap urusan warga negara akan berjalin dengan konsep kontrak sosial kekuasaan. Sebab, kontrak sosial kekuasaan meniscayakan keberadaan oposisi sebagai kekuatan kontrol yang melekat terhadap Negara, apalagi mengingat pada pemilu berikutnya pihak oposisi bisa saja berbalik menjadi penguasa. Karena begitu melekatnya dengan Negara, oposisi sering disebut sebagai loyal opposition, yaitu oposisi yang melakukan fungsinya dalam kerangka loyalitas mereka menjaga keutuhan Negara sekaligus memastikan pemerintah tidak kebablasan menjalankan tugasnya.
Seteru, bukan musuh
      Karena itu, kuatnya oposisi, terutama oposisi formal di parlemen, menjadi salah satu esensi demokrasi. Oposisi dalam demokrasi harus diposisikan sebagai seteru (adversary) ketimbang musuh (enemy). Musuh harus dikalahkan, sementara seteru adalah lawan bicara yang mengasyikkan karena memperkaya kita dengan sudut pandang yang berbeda. Â