Salah satu tantangan terbesar dunia saat ini adalah fenomena cuaca ekstrem akibat fenomena perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global (global warming). Manifestasi sederhana dari cuaca ekstrem adalah kadang kita bisa mengalami suhu sangat panas maupun sangat dingin dan berhujan dalam satu hari yang sama. Â
Penyebab pemanasan global adalah konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer akibat kegiatan ekonomi industri berbasis penggunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan selubung emisi karbon dioksida di bumi. Ketika cahaya matahari menyinari bumi dan membuat bumi panas, seharusnya panas itu kembali ke udara guna menormalkan kembali suhu bumi. Sayangnya, selubung emisi karbon tadi menahan pelepasan panas sehingga panas pun terpantul kembali ke bumi. Alhasil, suhu bumi meningkat dan panas di bumi pun kian ekstrem.
Dengan kata lain, perubahan iklim secara global saat ini terjadi karena ulah manusia yang ingin memuaskan hasrat ekonomi liarnya lewat pembangunan industri besar-besaran, pembabatan hutan, dan lain-lain. Singkat kata, perubahan iklim terjadi karena penerapan ekonomi berkarbon tinggi. Â
Maka itu, solusi konkret berupa paradigma baru relasi antara manusia dan lingkungan mesti dirumuskan. Guna keperluan tersebut, kita bisa mengangkat setidaknya dua etika: etika ekofeminisme Barat dan etika Timur, yang salah satunya adalah Islam.
Dua etika
Pertama, sesuai namanya, ekofeminisme menyajikan perspektif etis tentang lingkungan (eco) dari sudut pandang perempuan (feminisme). Selama ini, sikap etis manusia dalam mengolah lingkungan lebih didominasi pandangan-dunia maskulin (masculine world-view). Padahal, lelaki lebih identik dengan rasio (akal), sementara perempuan dengan emosi.
Berdasarkan rasionalisme ini, alam hanya hadir untuk kepentingan manusia. Semangat pandangan maskulin-rasional adalah spirit dominasi terhadap alam yang berpusat pada kepentingan sempit manusia (antroposentrisme). Di sisi lain, pandangan dunia emosional ekofeminisme melawan etika maskulin itu. Sebagai gantinya, ekofeminisme mengedepankan spirit restorasi dan pemeliharaan alam (Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Penerbit Buku Kompas, 2004). Â Â
Sayangnya, manusia sebagai makhluk rasional yang merasa paling unggul menganggap alam tersedia untuk mereka gunakan sepuasnya. Ditambah kredo kapitalisme yang bersendikan semangat modernitas dan kebebasan akal-budi individu, manusia mengeksploitasi alam secara membabibuta demi mengakumulasi laba. Keselarasan lingkungan pun terganggu sehingga memunculkan berbagai masalah lingkungan seperti perubahan iklim.
Kedua, teologi lingkungan Islam. Merujuk pada Ibrahim Abdul-Matin dalam Greendeen (Penerbit Zaman, 2012), Islam adalah agama komprehensif (kaffah) yang secara detail menggambarkan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan. Bagi Ibrahim, muslim sejati adalah muslim hijau yang juga mengamalkan Agama Hijau. Yaitu, penganut agama Islam yang sangat peduli atas isu-isu lingkungan seraya mengintegrasikan keimanannya dengan upaya penjagaan bumi ini.
Karena itu, kerusakan lingkungan akibat ekonomi karbon yang mengotori langit dengan emisi industri adalah bukti kegagalan manusia sebagai khalifah (mandataris Tuhan atas alam) mengemban amanat sebagai penjaga atmosfer dan lingkungan.
Alhasil, teologi ini menyeru manusia mengurangi penggunaan energi kotor seperti energi fosil. Sebaliknya, manusia harus berikhtiar mencari energi alternatif lagi ramah lingkungan (environment friendly). Kalau manusia lalai melakukan itu, Agama Hijau menyatakan manusia sebagai pendosa besar di mata Tuhan yang layak mendapatkan azab.