Pesatnya pembangunan saat ini memberikan imbas bagi lingkungan. Hadirnya gedung pencakar langit ternyata mengikis keberadaan ruang terbuka hijau. Bisa kita lihat, pembangunan mall, gedung perkantoran atau lainnya banyak membabat habis lahan kota karena harus mendukung fasilitas perkotaan, mulai dari kemajuan teknologi, industri dan transportasi. Bahkan pembangunan menyita RTH yang kerap dianggap sebagai lahan cadangan dan tidak ekonomis. Karena tingginya gedung menjadi tolok ukur keberhasilan suatu kota. Hmmm… benarkah demikian ? Padahal semakin tingginya gedung dan banyak kendaraan menandakan pencemaran dan pemanasan global semakin meningkat. Untuk mengatasi kondisi lingkungan kota seperti ini sangat diperlukan RTH sebagai suatu teknikbioengineering dan bentukan biofilter yang relatif lebih murah, aman, sehat, dan menyamankan. Pasalnya RTH yang merupakan bagian ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan  diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) sehingga menjadi paru – paru kota dan memberikan cadangan Oksigen bagi masyarakat kota tersebut. Sebagai contoh di Palembang, untuk mendukung pelaksanaan ajang olah raga paling bergengsi di Asia yaitu SEA GAMES XXVI 2011, Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan yang juga menjadi salah satu tuan rumah mulai melakukan banyak persiapan, terutama  mempercantik bentuk kota, merenovasi dan membangun sarana olahraga serta tidak tertinggal membangun Hotel, Mall, Restoran dan lain nya.
Salah satunya adalah kawasan Sport Hall atau GOR di Jalan A. Rivai Palembang, merupakan salah satu Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada di Kota Palembang dengan luas ± 5 Ha. Kawasan ini akan diubah bentuk dan fungsinya menjadi kawasan bisnis dengan dibangun nya Hotel, Town Square, dan Café untuk mendukung pelaksanaan SEA GAMES XXVI. Rencana Pengalih fungsian kawasan tersebut menjadi kawasan Bisnis, sesungguhnya sangat bertentangan dengan mandate UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Pada salah satu pasalnya mewajibkan setiap Kota dan Kabupaten yang ada di Indonesia memiliki Ruang Terbuka Hijau(RTH) minimal 30 persen dari luas Kota, yaitu 20 persen RTH yang dibangun pemerintah untuk kepentingan Publik, dan 10 Persen RTH Private yang diwajibkan pemerintah untuk dibuat/dimiliki oleh setiap Rumah. Kota Metropolis Palembang saat ini hanya memiliki RTH seluas 3 Persen atau sekitar 1.200 Ha, sehingga untuk mencukupi mandate tersebut harusnya pemerintah membangun sebanyak mungkin RTH, bukan malah melakukan Alih Fungsi RTH yang telah ada.
Berdasarkan catatan investigasi dan analisis yang dilakukan, jika Kawasan GOR ini di alih fungsi akan menyebabkan hilangnya 414 batang Pohon yang terdiri dari berbagai macam jenis seperti Beringin, Palem, Kelapa, Angsana, Jarak duri, Jambu, Nangka dan Tembesu. Yang selama ini 1 pohonya berfungsi sebagai penghasil oksigen (O2) sebanyak 1.2 – 1.5 Kg. Sehingga dengan jumlah pohon sebanyak 414 buah, Oksigen yang dihasilkan sebesar 0.5 – 0.6 Ton/hari, ini setara dengan kebutuhan oksigen 1.500 orang /hari. Selain itu kawasan ini juga berfungsi sebagai penyerap karbon (CO2) yang merupakan salah satu zat penyebab Pemanasan Global, sekitar 8,3 – 15 Kg/hari atau 3 – 5,4 ton/tahun. Selayaknya pembangunan dan pengelolaan RTH wilayah perkotaan harus menjadi substansi yang terakomodasi secara hierarkial dalam perundangan dan peraturan serta pedoman bagi pembangunan di perkotaan. Pembangunan yang baik adalah dengan tidak mengesampingkan keberadaan ruang terbuka hijau dengan terus melestarikan lingkungan bukan membabat habis setiap pohon yang memberikan sumbangan Oksigen cuma – cuma bagi kita. Sudah siapkah kita kekurangan O2 dan menggunakan masker ? Tulisan ini juga dipublish disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Money Selengkapnya