Mohon tunggu...
Suyono Apol
Suyono Apol Mohon Tunggu... Insinyur - Wiraswasta

Membaca tanpa menulis ibarat makan tanpa produktif.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hindari Panik dalam Perppu atau Revisi UU

5 Agustus 2015   16:47 Diperbarui: 5 Agustus 2015   16:47 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Perppu"][/caption]

Dalam mengatasi masalah adanya pasangan calon tunggal bupati atau wali kota di tujuh kabupaten atau kota saat ini beberapa opsi harus segera diputuskan, yaitu pilkada di tujuh daerah itu ditunda sampai Pilkada Serentak 2017 atau mengubah aturannya di tingkat undang-undang. Mengubah aturannya ada dua opsi, yaitu pertama dengan merevisi UU Pilkada seperti dikemukakan oleh Ketua MPR Zulkifli Hasan, dan kedua dengan mengeluarkan Perppu seperti banyak diwacanakan akhir-akhir ini. (Breaking News: Lihat UPDATE #1, #2, #3 di bawah.)

Pengubahan aturan secara mendadak adalah sah apabila ada kegentingan yang memaksa tetapi harus dihindari keputusan panik dan demi kepentingan sesaat dengan menciptakan banyak celah pada masa yang akan datang.

Salah satu contoh solusi sesaat adalah pernyataan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) Jimly Asshidiqie, bahwa Perppu juga perlu memasukkan ketentuan syarat dukungan. Jimly mengusulkan agar syarat dukungan ditetapkan minimum 10 persen dan maksimum 40 persen (Kompas.com). "Sehingga tidak borong perahu," katanya. Angka-angka tersebut bagus untuk keadaan pada saat ini, tetapi tidak dapat diandalkan untuk masa depan. Apabila pada suatu saat nanti ada parpol yang memiliki 41 persen atau lebih kursi DPRD, parpol itu malah tidak bisa mengusung atau mendukung pasangan calon kepala daerah. Dalam hukum tidak boleh dibuat pengandaian bahwa hal yang sulit adalah tidak mungkin, selama kemungkinannya ada atau positif (lebih besar dari nol).

Pada UU No 8 Tahun 2015 persyaratan tersebut adalah perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Itupun merupakan keputusan yang masih gres (baru sekali), yaitu perubahan dari UU No 1 Tahun 2015 yang mensyaratkan 15% kursi atau 20% suara sah. Semua serba baru. Untuk calon independen/perorangan pun baru saja mengalami perubahan dari 3%-6,5% (UU No 1/2015) menjadi 6,5%-10% (UU No 8/2015), tergantung dari lokasi daerah dan jumlah penduduknya.

Peningkatan-peningkatan dalam persyaratan dalam UU No 8 Tahun 2015 tersebut dilakukan oleh DPR dan Presiden pasti sudah pakai mikir (penuh kajian) dan berdasarkan pengalaman berdemokrasi puluhan tahun. Kemudian kini ujuk-ujuk persyaratan diusulkan diperingan menjadi 10%, malah ditambahkan batas maksimal. Suatu terapi yang sangat reaktif dan pendek pikir.

Sebaiknya yang harus dikaji adalah sebab-sebab terjadinya keengganan pasangan calon maupun parpol pendukungnya untuk maju padahal persyaratannya bisa mereka penuhi. Harus diakui, masalah pengkaderan, mahar politik, dan kepentingan partai adalah masalah pelik, tetapi harus diatasi, bukan malah diambil jalan pintas dengan mengobral persyaratan. Meskipun mereka memenuhi persyaratan, kalau tidak mau maju, bagaimana?

 

* * * * * * * * * *

UPDATE #1 (5/8/2015) 17.20 WIB

Presiden Jokowi telah memutuskan tidak akan menerbitkan Perppu untuk mengatasi masalah calon tunggal di tujuh daerah dalam Pilkada Serentak 2015. "Untuk diketahui bersama bahwa presiden tidak berkenan mengeluarkan Perppu," kata Ketua KPU Husni Kamil Manik seusai rapat bersama jajaran penyelenggara pemilu sekitar dua jam di Istana Bogor, Jawa Barat, Rabu (5/8/2015).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun