[caption caption="To different direction - Sumber Gambar: dreamstime.com (frame was added) - Logo © Teman Ahok"][/caption]
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah dua unsur unggul yang kalau disinergikan dalam suatu racikan yang optimal akan merupakan formula kemenangan yang sakti dan ideal dalam menghadapi Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017. Namun di dunia politik, kisah putri tercantik dan pangeran terganteng tidak selalu harus berakhir dengan hidup bersama berbahagia selamanya. Pada hari Minggu, 6 Maret 2016 malam, Ahok yang dikunjungi komunitas "Teman Ahok", memutuskan untuk memilih maju melalui jalur perseorangan dengan Heru Budi Hartono, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI Jakarta, sebagai wakilnya.
Partai politik (parpol) dalam demokrasi
Istilah parpol mengandung konotasi buruk dalam persepsi publik, seperti pembohong, serakah, koruptor, serta mementingkan diri sendiri dan kelompok. Namun, dalam demokrasi modern yang benar, parpol adalah keniscayaan.
Dari ratusan juta rakyat akan ada begitu banyak pendapat, kemauan, dan kepentingan; sebagian malah saling bertentangan. Harus ada yang mengumpulkan dan mengolah berbagai gagasan itu dan merumuskannya menjadi kebijakan dan program, kemudian mengimplementasikannya. Untuk itulah diperlukan parpol. Tanpa parpol akan terjadi khaos. Parpol adalah penghubung antara politik dan masyarakat.
Sejak zaman dulu orang tahu bahwa orang-orang yang membuat aturan dan yang melaksanakannya perlu dipisah. Ada legislatif dan ada eksekutif. Tanpa pemisahan itu, dijamin akan terjadi kesewenang-wenangan. Itu adalah konsep dasar yang amat disederhanakan.
Legislatif dan eksekutif harus sinkron dan harmonis kalau tidak mau saling jegal yang mengarah pada kerusakan. Kestabilan politik akan lebih mudah dicapai apabila eksekutif berasal dari (gabungan) parpol yang juga kuat di parlemen. Apabila suatu kelompok parpol di parlemen cukup kuat untuk menjatuhkan eksekutif yang tidak mengikuti kemauan legislatif maka adalah wajar dan alamiah apabila legislatif menjatuhkan eksekutif. Dalihnya, politisi berkewajiban memaksa siapapun, termasuk eksekutif, agar kehendak rakyat yang mereka wakili dijalankan dengan benar.
Sayangnya, parpol-parpol di Indonesia sangat jauh dari harapan. Meskipun demikian, mereka adalah yang seharusnya terbaik yang dimiliki seluruh rakyat Indonesia, mereka juga mewakili politik rakyat Indonesia setelah melalui seleksi alam yang keras dan kompetitif. Mereka setelah melalui pengorbanan dan perjuangan merupakan pemenangnya sampai akhirnya bisa berada di situ. Mereka adalah kumpulan dari orang-orang yang mau dan teruji dalam melaksanakan politik praktis.
Calon perseorangan juga bisa menang dalam pilkada
Dari ratusan pemilihan kepala daerah yang digelar, ada 14 pasangan calon perseorangan yang menang. Berikut ini adalah para pemenang tersebut.
Pasangan ke-1 adalah Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar yang memenangi Pemilihan Gubernur Aceh melalui jalur perseorangan pada 11 Desember 2006 dan dilantik pada 8 Februari 2007. Itu adalah pilkada pertama di Aceh seusai konflik bersenjata yang ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Pasangan ke-2 adalah Tengku Nurdin Abdurrahman dan Tengku Busmadar Ismail yang memenangi Pemilihan Bupati Kabupaten Bireuen, Aceh pada 26 Juni 2007.
Sementara itu, pada tanggal 28 April 2008 disahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, tentang perubahan kedua terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang tersebut dalam Pasal 56 Ayat (2) telah mengakomodasi calon perseorangan.