Saat ini Ahok telah memiliki dua kartu truf, yaitu: satu, dukungan tanpa syarat dari Nasdem, Hanura, dan Golkar yang gabungannya memiliki 24 kursi DPRD (5+10+9); dua, dukungan dari lebih dari sejuta warga DKI Jakarta melalui pengumpulan fotokopi KTP. Bagaimana ia memainkan kartu-kartu tersebut?
PDI-P tidak mau ditelikung Ahok, tapi juga tidak bisa dipercaya
Ahok plus PDI-P adalah formula menang tapi sejauh ini sulit bersinergi. PDI-P menghendaki agar prosedur yang sesuai mekanisme partai dijalani tanpa bisa ditawar-tawar, yaitu PDI-P tidak mendukung jalur perseorangan dan bakal calon terikat pada aturan partai tanpa ada jaminan akan dijadikan sebagai calon gubernur dari PDI-P kelak. Partai banteng ini tidak mau didesak-desak membuat keputusan mengingat waktu pendaftaran pasangan calon gubernur lewat partai ke KPU masih lama, yaitu 19-21 September 2016 (PKPU No 3 Th 2016).
Sebaliknya, Ahok memiliki konstrain waktu, yaitu penyerahan syarat dukungan bagi pasangan calon perseorangan ke KPU adalah 3-7 Agustus 2016 (PKPU No 3 Th 2016). Kalau Ahok menunggu-nunggu sampai PDI-P mengumumkan pasangan calon yang diusung mereka yang tidak ada kepastian jadwalnya, kesempatan Ahok maju bisa hangus. PDI-P jelas tidak dapat dipercaya, seperti yang pernah terjadi pada mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah Rustriningsih pada tahun 2013. Teman Ahok menghendaki agar partai yang akan mengusung Ahok membuat surat rekomendasi yang menyatakan mengusung Ahok sebagai calon gubernur. PDI-P menolak karena tidak mau ditelikung Ahok yang menurut mereka pernah dengan mudah meninggalkan Gerindra setelah diusung sampai berhasil. Sesungguhnya dalam politik, surat rekomendasi pun bukan jaminan, ingat saja Perjanjian Batutulis yang bermeterai tapi berujung pada perdebatan kusir.
Kalau Ahok lewat jalur partai, kecewakah Teman Ahok?
Banyak orang lupa bahwa tujuan Teman Ahok meyediakan jalur perseorangan buat Ahok adalah agar Ahok bisa maju menjadi calon gubernur, bukan ingin bersaing dengan partai. Pada awal Maret 2016, meskipun Ahok memiliki elektabilitas tertinggi, posisi tawarnya lemah karena tidak punya kendaraan politik. Sebaliknya, PDI-P bisa menghanguskan kesempatan Ahok yang menanti harapan tidak jelas, dan pada ujungnya PDI-P mengusung kader partai sendiri.
Dengan langkah berani Ahok bersama Teman Ahok menempuh jalur perseorangan, posisi tawar Ahok meroket sehingga partai-partai politik seperti Nasdem, Hanura, dan Golkar berdatangan mendukungnya. Bahkan PDI-P bagaikan cacing kepanasan mencari calon gubernur pesaing Ahok. Meski ada puluhan bakal calon yang berminat tapi dibandingkan dengan Ahok, mereka hanyalah figuran yang sudah senang kalau ikut audisi. Usaha PDI-P untuk mengimpor kader superplatinumnya dari daerah juga bagaikan bagaikan menegakkan benang basah.
Jadi misi Teman Ahok untuk menyediakan kendaraan buat Ahok telah berhasil dengan baik. Dalam pertemuan yang akan diadakan Ahok, Teman Ahok, Nasdem, Hanura, dan Golkar, mereka bisa membahas dan memutuskan strategi apa yang harus dipilih, bukan hanya sekadar memenangkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, tetapi juga mengantisipasi keharmonisan eksekutif dan legislatif ke depannya.
Teman Ahok tidak perlu kecewa kalau Ahok memilih jalur partai. Kalau tidak ada Teman Ahok atau Teman Ahok tidak dipercaya memiliki kemampuan mengumpulkan dukungan warga DKI, pasti saat ini partai-partai politik masih menunggu polarisasi usungan yang akan dibuat oleh PDI-P, Gerindra, dan/atau lainnya. Kartu truf yang diciptakan Teman Ahok telah menghasilkan kartu truf kedua, yaitu dukungan Nasdem, Hanura, dan Golkar.
Penggunaan kartu truf
Kedua kartu itu datangnya sekuensial, jadi penggunaannya pun tidak harus paralel. Kartu pertama menghasilkan kartu kedua. Jadi kini giliran menggunakan kartu kedua.