[caption caption="Fallout 4"][/caption]Melihat tongkronganku, banyak orang mengira aku adalah seorang anggota polisi. Aku tidak suka disama-samakan dengan ayahku. Aku cuma seorang apol, namaku Suyono Apol. Sejak kecil aku adalah seorang yang ramah dan bersahabat. Tapi jangan coba-coba menggangguku karena aku punya kakak yang salah koordinat. Ia seharusnya dilahirkan dan dibesarkan di kandang pit bull.
Dengan latar belakang seperti itu, jangan heran kalau aku sering memberi komentar di mana saja, lingkungan aku berada, baik itu RT, RW, kelurahan, atau kantor-kantor. Tentu saja itu bisa terjadi karena mereka mau mendengarkanku. Memang ada catatan kecil, aku gampang dan sering memecat orang. Begitulah.
Dulu aku sering baca-baca artikel di komp*s.com. Aku tergelitik dengan komentar-komentar yang ada di bawah artikel yang kubaca. Iseng, kubuat akun dan mulai ikut mengomentari. Aku jadi familiar dengan beberapa nama. Pada Pilkada DKI 2012 dan Pilpres 2014 terjadi perkubuan, dan posisiku jelas berada di mana. Aku menikmati perkoncoan di dunia maya seperti itu. Kami tidak mau tahu apa lagi peduli tentang siapa penulis artikelnya. Kami cuma menyimak isi tulisan dan berinteraksi dengan saling membaca dan membalas komentar. Jadi ketika kami menulis komentar, kami tidak membedakan siapa yang menulis artikel, tanpa perasaan, tanpa beban.
Kompasiana dan beberapa kompasianer menitip jemuran di komp*s.com. Aku jadi baca-baca tulisan di Kompasiana yang diasongkan itu karena tertarik pada judulnya yang menjanjikan. Biasanya aku kecewa karena isinya yang tidak menjawab rasa ingin tahu seperti yang diimingkan melalui judulnya, juga karena penggunaan bahasa Indonesia yang kurang memadai.
Karena ada artikel yang hendak kukomentari, tanpa pikir panjang aku register, membuat akun di Kompasiana pada 29 Maret 2015. Lima hari kemudian kebetulan aku ditelepon oleh seorang teman yang bertanya tentang perkiraan jadwalnya apabila seseorang, yang secara spesifik ia sebut namanya, perlu membuat partai baru. Aku bilang bahwa jawaban akan kusamarkan dalam artikel di Kompasiana. Itulah artikel pertamaku di Kompasiana. Sebetulnya aku lebih senang menulis komentar daripada menulis artikel.
Berbeda dengan di komp*s.com, di Kompasiana aku tidak bisa mengabaikan penulisnya. Ada ikatan perasaan dengan penulis artikel yang kukomentari. Aku tidak bisa seenaknya dalam menulis komentar. Ada unsur pertemanan di sini. Hanya karena keterbatasan waktu saja, aku tidak bisa menyebar komentar dan vote secara maksimal. Apalagi membuat artikel, jauh lebih jarang lagi karena aku memprioritaskan menulis komentar dalam waktu yang terbatas itu.
Dalam keterbatasan itu, aku tetap berusaha berlaku jujur dalam berkomentar, yaitu dengan mencoba menangkap maksud penulis artikel, meskipun mungkin cuma dengan scanning, atau hanya membaca sebagian baris pertama dari tiap paragraf, bahkan melewati beberapa paragraf, atau hanya membaca pangkal dan ujung artikel saja.
Saya mengusahakan memberi opini yang relevan dengan isi artikel, jadi bukan sekadar, "Sip," "Mantap, " "Menyimak," "Keren," "Met HL," atau kalimat-kalimat generik seperti, "Jokowi memang merakyat," "KPK perlu diperkuat," "Tulisan yang inspiratif bro," "Benang kalau dicelupkan ke air jadi basah," dan sebagainya. Tentu saja, akupun sekali-sekali berbuat begitu karena berbagai alasan, antara lain karena gagal paham dalam keterbatasan yang ada.
Pada umumnya aku menikmati berinteraksi di Kompasiana, tapi tentu akan lebih nikmat apabila frekuensi error di Kompasiana diturunkan dan fitur-fitur unggulannya yang sempat menghilang dikembalikan, misalnya fitur "comment notification" yang dikenal sebagai "notif" yang seksi dan dirindu.
Terima kasih Kompasiana. Terima kasih Admin. Terima kasih kompasianer. Terima kasih pembaca. Terima kasih teman obrolan K-50. Salam Kompasiana.
Salam rindu untuk:
- Ellen Maringka
- Den Bhaghoese
- Johanis Malingkas
- Ricky Vinando