[caption caption="Tjiptadinata Effendi"][/caption]
Pada masa awal-awal saya menulis di Kompasiana dalam bulan April 2015, saya belum tahu akan adanya konsep "sharing and connecting". Saya juga belum menyadari tentang siapa-siapa yang populer di Kompasiana. Saya cuma tahu dua nama kompasianer, yaitu Daniel H.T. dan Mike Reyssent karena mereka sering mempromosikan artikel Kompasiana mereka di Kompas.com, tempat saya biasa membaca berita dan menulis komentar.
Pertama kali Pak Tjiptadinata Effendi (Pak Tjip) menyapa saya adalah pada artikel saya yang ketujuh di Kompasiana yang berjudul "Mengenal Sistem Skoring Tinju". Komentarnya, "reportase perfect Mas Sujono.. mantap.Sselamat HL ya". (Sesungguhnya nama saya adalah Suyono, bukan Sujono.) Sebelumnya, saya memang sudah beberapa kali mampir dan membaca artikel-artikel Pak Tjip dan memberi komentar di sana karena tiap hari ada saja artikelnya yang muncul, tapi baru sejak ia menyapa itulah saya mulai intens menyimak tulisannya dan menyadari akan keistimewaan kompasianer senior yang satu ini.
Berdasarkan pengalaman pribadi
Pak Tjip bukanlah penulis fiksi yang piawai berakrobat kata di atas pesona tata bahasa yang indah dan sempurna, bukan pakar dengan spesialisasi akademik tertentu, juga bukan jurnalis kawakan yang ingin mendominasi Kompasiana. Ia adalah seorang suami, ayah, dan kakek biasa yang hidup dan besar di berbagai situasi dan kondisi yang cenderung keras, penuh duri dan perangkap; seolah merupakan suatu pembuktian bahwa peribahasa "berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian" bisa menjadi kenyataan.
Orang boleh menulis apa saja tentang dirinya sendiri, bisa mencuplik episode-episode yang bagus dan heroik saja dari hidupnya, mengubah dan memperindahnya dibanding kenyataan, atau memproyeksikan pengalaman hidup orang lain menjadi dirinya. Tapi Pak Tjip tidaklah demikian. Ia menceritakan apa yang ia lihat atau alami dengan jujur seperti apa adanya. Ia bagaikan berada di kotak kaca transparan dengan banyak orang menontonnya, live, ia tidak bisa bersembunyi. Ia selalu menggunakan nama dan lokasi yang sebenarnya apabila itu menyangkut dirinya. Bayangkan, apabila ia berbohong, tentulah masyarakat yang ada di sekitar lokasi cerita akan bertanya-tanya, protes, bahkan bisa mencaci makinya. Belum lagi istri dan anak-anaknya yang menjadi saksi terdekatnya, pasti akan sangat malu dan kecewa apabila suami atau ayah mereka berbohong kepada publik.
Sekolah kehidupan
Di sekolah formal orang belajar mengikuti kurikulum, dengan ujian yang seragam dan bisa lulus dengan memberikan jawaban yang sudah disiapkan sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaannya bisa diprediksi dan telah disesuaikan dengan kemampuan rata-rata dari para murid.
[caption caption="John Dewey Quotes"]
Dalam kehidupan, orang belajar dengan segala ketidakpastian dan penuh kejutan. Berbagai ujian berupa godaan, tipuan, badai, bahkan bencana bisa datang setiap waktu dengan kapasitas tak tentu pula. Ujian di sini bisa memiliki jawaban berbeda untuk pertanyaan yang sama. Apalagi, pertanyaannya akan berbeda-beda pula untuk masing-masing orang dari waktu ke waktu.
[caption caption="Life Lesson Quotes"]
Begitulah sekolah kehidupan yang telah dijalani Pak Tjip, dan ia lulus dengan predikat summa cum laude. Menjalani sekolah kehidupan itu Pak Tjip bukan menjadi orang yang serba tahu, hapal segala sesuatu, melainkan membuat ia menjadi orang yang intelektualitas dan nuraninya peka terhadap realitas dan dinamika kehidupan. Ia mampu menganalisis kehidupan bukan secara robotik dengan menggunakan segala kecanggihan perangkat keras dan lunaknya, melainkan secara kognitif ia bisa mengenali pola-pola kehidupan secara jitu, dan meresponnya dengan bijak dan elegan.
Makin banyak saya membaca tulisan-tulisan Pak Tjip, makin larutlah saya ke dalam luasnya visi Pak Tjip tentang esensi kehidupan berupa kejujuran, kerendahan hati, kesederhanaan, sikap penuh rasa syukur, semangat pantang menyerah, kesabaran, kesediaan memaafkan, sikap menghargai perbedaan, dan semangat untuk berbagi.