[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Floyd Mayweather vs Pacman | Foto: Huffingtonpost.kr"][/caption]
Pertandingan Floyd Mayweather dan Manny Pacquiao banyak mengundang pro dan kontra. Apakah hal yang biasa apabila para penonton saling berbeda pendapat secara masif dan global? Apakah para juri sulit dipercaya atau mereka telah salah dimengerti? Marilah mengenal sistem skoring dalam tinju.
Sistem skoring tinju pro
Dalam tinju pro masing-masing juri (judge) secara independen memiliki kewenangan memutuskan petinju mana yang unggul untuk tiap rondenya dan memberinya poin 10, sedang lawannya mendapat poin 9. Kalau sama kuat atau seri, skornya 10-10. Yang jelas, salah satu harus mendapat poin 10 (ten point must system). Kalau terjadi knockdown, angkanya dikurangi satu poin per knockdown. Misal, terjadi satu knockdown, skornya 10-8, kalau dua knockdown, skornya 10-7. Tanpa terjadi knockdown pun juri bisa memberi skor 10-8 apabila pertandingannya sangat berat sebelah. Itu terserah juri. Selain itu wasit (referee) punya kewenangan untuk mengurangi angka petinju yang melakukan holding, low blow, atau pelanggaran lainnya. Pengurangan poin dilakukan setelah skor amatan juri dihitung, jadi skor 10-9 bisa menjadi 9-9 atau 10-8, tergantung pihak mana yang dihukum wasit. Misal terjadi satu knockdown, skornya 10-8, tapi apabila yang menang pada ronde itu dihukum wasit, maka skor menjadi 9-8.
Kalau pertandingan berakhir karena terjadi knockout (tidak bisa melanjutkan pertandingan setelah wasit menghitung sampai sepuluh) atau diskwalifikasi (misal karena menggigit kuping lawan), skor menjadi tidak berarti apa-apa, diabaikan. Kalau yang terjadi sebaliknya, skor dari ketiga juri ditabulasi. Masing-masing juri menentukan pemenangnya dengan menjumlahkan semua skor miliknya untuk semua ronde, bisa juga seri (draw). Keputusan pemenang ditentukan dengan menghitung suara dari ketiga juri. 1. Petinju menang dengan unanimous decision kalau ia memperoleh 3 win dari ketiga juri; 2. Menang dengan majority decision kalau ia memperoleh 2 win dan 1 draw; 3. Menang dengan split decision kalau 2 win dan 1 lose; 4. Seri kalau masing-masing petinju memperoleh 1 win, 1 lose, dan 1 draw; 5. Juga seri kalau dua juri memutuskan draw, dengan mengabaikan hasil dari juri ketiga.
Ketergantungan pada tiga juri
Subyektif? Tentu saja, terbukti dengan fakta bahwa ketiga juri bisa berbeda-beda pendapat bahkan bisa berlawanan. Aturannya pun merupakan hasil evolusi dalam kurun waktu yang panjang. Pada awal sejarah tinju, wasit (referee) cukup mengangkat tangan salah satu petinju sebagai pemenangnya. Tegas dan sederhana. Untuk skoring, sejak awal abad lalu mereka sudah menentukan kemenangan dengan menghitung jumlah ronde yang dimenangkan. Kemudian, wasit dibantu oleh dua juri (judge) di sisi ring. Keputusan dibuat dengan suara mayoritas dari mereka bertiga. Perkembangan berikutnya, wasit dibebaskan dari tugas skoring yang diserahkan kepada tiga juri di sisi ring, meskipun wasit tetap memiliki kewenangan menghentikan pertandingan atau mengurangi poin.
Ketiga juri selalu melihat dari sudut pandang yang tetap, beda dengan pemirsa televisi, ada beberapa kamera yang bisa melihat dari arah dan jarak yang berbeda-beda. Selain itu dalam tinju pro, juri memiliki hak membuat keputusan sesuai diskresinya, misal petinju A lebih banyak mendaratkan pukulan secara total, sedang petinju B sedikit mendaratkan pukulan tapi lebih banyak yang kerasnya sampai lawan babak belur. Mana yang dimenangkan? Atau, satu petinju seperti Jerry (tikus) yang dikejar-kejar Tom (kucing) tapi lebih banyak mendaratkan pukulan. Mana yang dimenangkan?
Dalam kasus Mayweather vs Pacquiao (Pacman), ketiga juri kompak menilai bahwa Mayweather menang pada ronde 1-3, 5, 7-8, dan 11-12 (8 ronde) dan Pacman menang pada ronde 4 dan 6 (2 ronde). Mereka berbeda hanya pada dua ronde saja (9-10), yaitu Dave Moretti memenangkan Mayweather, sedang Burt Clements dan Glenn Feldman memenangkan Pacman. Selain unanimous, statistik menunjukkan baik jumlah pukulan masuk maupun yang keras, berpihak pada Mayweather.
Sistem skoring pada tinju amatir
Sampai beberapa tahun lalu, orang bilang lebih gampang dan jelas pada tinju amatir, siapa yang berhasil mendaratkan pukulan bersih lebih banyak, dia menang. Yang dimaksud pukulan adalah adanya kontak menggunakan bagian knuckle (buku jari) dari sarung tinju. Setiap pukulan yang mendarat di kepala dan dada, dihitung satu poin.
Pada Olimpiade 1992 diperkenalkan sistem skoring komputer. Masing-masing dari lima juri memiliki keypad dengan tombol merah dan biru. Para juri harus menekan salah satu tombol tiap kali petinju yang bersangkutan mendaratkan pukulan yang mau diberi nilai. Pada sistem awal, minimal tiga dari lima juri harus menekan tombolnya untuk petinju yang sama dalam jendela waktu satu detik supaya poin dihitung. Seolah, dalam tempo satu detik itu, terjadi voting di antara kelima juri, minimal tiga suara sama berarti satu poin untuk petinju yang bersangkutan.
AIBA (International Amateur Boxing Association) memperkenalkan sistem skoring baru pada Januari 2011. Tiap juri memberikan skor sendiri-sendiri untuk masing-masing petinju. Skor yang diberikan kepada masing-masing petinju diperoleh dari 3 dari 5 juri bisa berdasarkan kemiripan skor atau pengabaian dua yang terjauh dari rerata. Skor tidak lagi diperoleh langsung setiap saat (real time) tapi hanya diberikan pada akhir tiap ronde.
Sejak 13 Maret 2013, sistem skoring komputer tidak lagi digunakan, jadi mereka juga menggunakan ten point must system, seperti pada tinju pro.
— •oo 0θ Φ θ0 oo• —
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H