Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

"Dilah Kasukman" Renungan Harian Bahasa Jawa, Sangat Diminati Pembacanya

1 Agustus 2024   14:36 Diperbarui: 2 Agustus 2024   12:51 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Renungan Dilah Kasukman Edisi No. 8/ VI-Agustus 2024 (dokumen pribadi) 

Kesulitan berbahasa Jawa, terutama dalam kepenulisan memang komplek.  Seorang penulis bahasa Jawa idealnya bisa membedakan tingkatan dalam berbahasa Jawa: ngoko, krama madya, dan krama Inggil.  Bahasa Jawa Ngoko itu digunakan bagi sesama usia atau orang tua kepada anak juga atasan kepada bawahan.  Bahasa Jawa Krama Madya itu digunakan kepada sesama untuk saling menghargai karena profesi atau orang tua kepada orang muda karena untuk menghormati disebabkan jabatan dan lain-lain.  Bahasa Jawa Krama Inggil digunakan oleh anak-anak atau orang muda kepada orang tua, bawahan kepada atasan.

Kesulitan berbahasa Jawa yang lain bagi penulis adalah pemilihan dan penulisan diksi.  Sebagai penulis sekaligus pemimpin redaksi dan editor renungan Dilah Kasukman saya sering kali menemukan ketidakmampuan rekan penulis membedakan kata yang diucapkan dengan kata yang seharusnya dituliskan.  Misal saja ada yang menulis negoro, wanito dan lain-lain.  Seharusnya mereka menuliskan: negara, wanita, meski dalam pengucapan mengarah ke bentuk huruf vokal aksara Jawa taling tarung (o). 

Hal ini sebenarnya gampang diatasi dengan rajin melihat setiap kata yang agak sulit dituliskan di Kamus Bahasa Jawa atau Bausastra Jawa.  Ada Kamus Bahasa Jawa karangan Poerwodarminto yang ditulis dengan masih menggunakan ejaan Soewandi terbitan tahun 1939 dan Kamus Bahasa Jawa terbitan Kanisius Yogyakarta tahun 2008 dan kamus bahasa Jawa lainnya.  Tetapi persoalannya, tidak semua penulis memiliki kamus-kamus ini, karena mungkin merasa kurang digunakan.

Belum lagi juga ada kesulitan paramasastra atau tata bahasanya.  Lima tahun berjalan saya menyesuaikan dengan paramastra alkitab bahasa Jawa Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), khususnya dalam penulisan awalan "dipun."  Dalam penulisan bahasa Jawa ada kata kerja yang didahului dengan awalan "dipun" ini.  Misal "dipun ginakaken" (digunakan).  Dalam penulisannya, awalan "dipun" dengan kata kerja yang mengikutinya kami pisah. 

Namun kebijakan LAI terbaru dalam revisi alkitab bahasa Jawa Perjanjian Lama (PL) dimana saya menjadi salah satu anggota tim, seorang ahli bahasa, Dr. Sudaryanto memberikan pendapat bahwa kata awalan harus disambung dengan kata kerja yang disertakan.  Sehingga kemudian ditulislah misal awalan "dipun" dan kata kerja "ginakaken" menjadi "dipunginakaken."  Secara aturan ejaan memang seperti itu, tetapi ketika diucapkan oleh seseorang yang tidak berlatarbelakangkan Jawa atau tidak paham bahasa Jawa maka akan muncul bunyi sengau dalam pengucapannya yang mempengaruhi arti yang dimaksud. Kasus seperti itu bisa ditemukan dalam awalan "dipun" ditambah dengan kata kerja lainnya.

Saat ini kami redaksi Dilah Kasukman mempertimbangkan apakah penulisan awalan "dipun" dengan kata kerja yang mengikutinya dipisah atau disambung?

 

Sangat Diminati 

Seorang anak muda pembaca Dilah Kasukman, Peni Noviyanti (32)  memberi komentar bahwa Dilah Kasukman sangat diminati anggota jemaat gerejanya.  Hal ini yang membanggakan kami pengelolanya. Peni Noviyanti yang bergereja di GITJ Ngeling Jepara ini memberi alasan bahwa Dilah Kasukman sangat diminati ini karena bahasanya mudah dimengerti dan dapat menjadi sarana acuan dalam berbahasa Jawa.

"Sebelumnya kami menggunakan renungan harian menggunakan bahasa Indonesia, jemaat merasa ada yang kurang karena bahasa Indonesia cuma digunakan dalam ibadah minggu pertama setiap bulannya, selebihnya menggunakan bahasa Jawa.  Jadi renungan Dilah Kasukman sangat diminati karena mudah dimengerti dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk bahasa Jawa, matursuwun pak," demikian tulis Peni yang masih lajang ini dalam wawancara tertulis via mesenger FB.

Terhadap renungan Dilah Kasukman yang diupload setiap paginya di group FB, Peni juga memberi komentar,"Kalau yang digital sebagai acuan pembanding karena kadang dengan yang di edisi cetak ada yang tidak urut,  judul dan bahan ada dihari lain, atau kadang tidak sama dengan yang dicetak meski mungkin sama di pihak editor.  Ada yang dibolak-balik pak.  Secara pribadi saya oke pak, karena bisa untuk acuan, jadi tidak terpaku dengan yang dicetak," demikian tulis Peni Noviyanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun