Fitri menyahut,"Nggak usah repot-repot, aku sama Vita mau mampir ke rumah beberapa teman dulu." Fitri dan Vita segera bergegas ke tempat parkir sepeda motor. Â Bramastho bersama dengan Gembrot dan Kapuk memandang kepergian kedua gadis itu dengan tatapan yang jengkel.
Perang Kembang
Ruang joglo, gamelan lengkap, layar wayang terbentang, wayang-wayang yang tengah diisis atau diangin-anginkan, tergantung berjejer rapi di beberapa kawat, malam hari. Bagas sedang berlatih privat sabetan wayang pada Ki Sutejo. Â Bagas sedang memainkan perang cakilan. Â Ki Sutejo menunggui di belakang Bagas dengan penuh perhatian.
Ki Sutejo mengamati dan berkomentar,"Coba tubrukannya diulang lagi. Â Usahakan tubrukan tidak menggoyangkan layar. Â Keprakan harus kuat. Â Wayang gaya Yogya memang kekuatannya pada kemantapan sabetan. Â Ini bisa kita dapatkan dengan kuat dan tepatnya keprakan serta tepatnya cepengan."
Bagas mengulangi lagi khususnya di bagian tubrukan dilanjutkan dengan gendiran, tapi masih juga terasa belum sempurna.
"Bagus, cuma perlu lebih halus. Â Mari saya beri contoh sedikit," Ki Sutejo memberikan contoh. Â Sementara itu Fitri masuk ke ruang latihan dengan 2 gelas teh tubruk di nampan. Â Fitri meletakkan gelas di depan Bagas. Â Bagas melihat Fitri, mereka bertatapan. Â Fitri agak gugup mendapatkan tatapan Bagas, Bagas tersenyum.
Fitri berkata kepada ayahnya juga Bagas,"Rama, ini tehnya. Â Mas mari diminum."
"Ya...ya, taruh saja di situ ndhuk," Ki Sutejo menjawab sambil tetap memainkan wayang.
Bagas menjawab pelan,"Terima kasih mbak."
Fitri beranjak pergi. Â Bagas memperhatikan kepergian Fitri, tidak sadar bahwa Ki Sutejo telah selesai memainkan wayang dan melihatnya. Â Ki Sutejo melirik Bagas, berkata,"Ehm, ayo diminum dulu tehnya mas Bagas, mumpung masih hangat."
"Eh ya trimakasih Pak," jawab Bagas agak gugup.