Kuku Mak Lampir
Oleh : Suyito Basuki
 Musa kaget bukan main ketika pagi hari sebelum pelajaran bahasa Jawa, Pak Slamet menyuruh anak-anak kelas III menunjukkan tangan mereka ke atas meja.  "Ayo semua anak, tangannya di atas meja.  Kalau ada yang memiliki kuku panjang, awas, saya akan menghukumnya!" kata Guru kelas III itu garang.  Tangan kanannya memegang kayu penunjuk alat peraga.
 Musa jadi ingat, Sabtu yang lalu gurunya itu pernah berkata bahwa hari Senin akan ada pemeriksaan kuku, oleh karena itu yang punya kuku panjang harap segera dipotong.  Sepulang sekolah Musa lupa pesan pak guru.  Rema dan Kia, saudaranya dari Bengkalis Riau datang.  Musa dan adiknya Yahya sibuk bermain dengan saudara sepupunya itu.  Mereka berkejar-kejaran di halaman.  Rema anak gadis kecil yang baru kelas satu SD dan Kia yang kelas TK kecil itu, berteriak ketakutan,"Hiii...kuku Mak Lampir...."  Saat itu Musa mengejar sambil membentangkan kedua telapak tangannya, mau menangkap mereka.  Kuku Musa yang kira-kira satu setengah senti memang terlihat menakutkan bagi Rema dan Kia.  Mendengar teriakan mereka, Musa malah tertawa-tawa senang.
 Papa Musa pernah menasihati supaya Musa memotong kukunya saja.  Selain tidak pantas bagi anak kecil, kuku panjang juga gampang kotor, sehingga menjadi sarang penyakit.  Kadang-kadang kuku panjang juga berbahaya, bisa menggores muka sendiri atau teman.  Kuku panjang juga menyulitkan ketika mau menulis atau menggambar.  Musa diam saja mendengar nasihat itu, juga ketika mamanya membujuknya supaya kukunya dipotong.
 Musa memang pernah melihat film Mak Lampir yang tokohnya berkuku panjang, tetapi yang berkesan adalah film Dare Devil yang pernah dilihatnya.  Tokohnya pun punya kuku panjang.  Kuku itu memang bermanfaat dalam pertempuran.  "Aku ingin gagah kayak dia," pikir Musa.  Sehingga dia selalu diam atau memberi alasan jika orang tuanya mendorong untuk rela kuku jarinya dipotong.
Degup jantung Musa sangat terasa kencang, peluh mulai meleleh. Â "Duak! Â Duak!" Â bunyi kayu penunjuk itu keras sekali mengenai meja dan jari Tesar. Â Rupanya Tesar yang duduk di baris depan meja Musa ini kukunya panjang dan kena pukul Pak Slamet. Â Tesar meringis, tapi tak bisa beralasan lagi.
Pak Slamet sampai di meja Musa. Â "keluarkan tanganmu Musa dan kamu juga Ferdi!" Â Perintah pak guru. Â Ferdi yang duduk di sebelah Musa sudah mengeluarkan tangannya. Â Musa dengan agak gemetar mengangkat tangan dan meletakkannya di meja. Â Degup jantungnya semakin kencang saja. Â Dia tidak berani melihat tangannya, pandangan matanya lurus ke arah papan tulis di depan. Â Dia berpikir betapa sakitnya pukulan Pak Slamet nanti atas jari tangannya. Â Pak Slamet memang tidak segan-segan memukul muridnya. Â Misalnya murid yang tidak mengerjakan PR atau yang suka bermain di kelas ketika pelajaran diberikan.
Musa sedih mau menangis. Â Kalau saja aku mengikuti nasihat papa, tentu tidak akan seperti ini, pikirnya. Â Papanya selalu mengingatkannya untuk memotong kukunya yang panjang itu, tetapi Musa selalu menolak dengan berbagai dalih. Â
Musa menunggu sabetan kayu dari pak guru. Â Pak Slamet melihat kuku Ferdi dan kemudian kuku Musa. Â "Bagus, bersih semua." Â Bersih semua? Â Musa heran dengan komentar Pak Slamet. Â Pelan-pelan dia melirik jari-jari tangannya yang ada di atas meja. Â Benar, bersih semua, tidak ada kuku panjang di jariku. Â Heran, siapa yang memotongnya? Â Kapan?