Masa pandemi corona, selama 2 tahun meluluh lantakkan hampir semua aspek perekonomian, termasuk perekonomian seniman. Ketiadaan dan pembatalan kemudian berlanjut pembatasan jam pertunjukan dan pengunjung.
Sebagai dalang wayang kulit, saya pun pernah mangalami pembatalan pentas wayang. Rencana pentas wayang yang akan diadakan dalam rangka paskah di sebuah gereja di daerah Keling Jepara di tahun 2020, menjelang pementasan tiba-tiba dibatalkan karena alasan mulai menggejalanya corona, di mana tidak diizinkan pertunjukan-pertunjukan yang berpotensi menimbulkan kerumunan.Â
Akibat dari kesulitan perekonomian, para seniman pontang-panting dalam mempertahankan kehidupan dan kreativitasnya.
Menurut kesaksian Godod Sutejo, pelukis Jogja kelahiran Wonogiri di tahun 1953 lulusan ASRI dan ISI Yogyakarta ini, banyak seniman terpaksa menjual aset-asetnya, seperti wayang kulit, gamelan, tanah yang dimilikinya.
Godod Sutejo sendiri terpaksa merelakan barang-barang antik yang menjadi koleksinya, Motor harley yang dulu dipajang di ruang tamu dan sejumlah lampu petromaks, seterika lawasan dengan berbagai model, radio transistor kuno dengan aneka rupa bentuk sekarang ini tidak bisa dijumpai lagi di kediamannya di daerah Sosrodiningratan Yogyakarta.
"Semua dijual mas untuk memenuhi kebutuhan keluarga," ujarnya.
Kreativitas Muncul di Tengah Kesulitan
Namun di balik seniman mengalami kesulitan hidup, justru saat ini muncul ide-ide baru dalam rangka mereka menjaga kreativitas dalam berkarya sekaligus upaya mempertahankan hidup keluarga.
Di Yogyakarta sendiri, menurut pelukis dengan aliran melukis alam sepi ini, banyak yang membuka kafe-kafe.
Ada para seniman lukis sejumlah sekitar 50 orang, yang patungan menyewa lahan "kas desa" seluas 1,5 hektare untuk dibuat kafe dan tempat melukis bersama.