Tapi mana aku berani. Â Kalau aku duduk di teras bersama Savitri, hampir dapat dipastikan Pak Maksum akan duduk di ruang tamu sambil membaca koran. Â
Sesekali ia berdeham-dehem, yang membuat hatiku ciut. Â Baru ngobrol setengah jam, pasti ada suara keras penuh wibawa supaya Savitri ke dapur, dipanggil ibunya.Â
Suatu ketika, Savitri tidak secepat mengikuti perintah ayahnya. Â Segera saja lelaki yang memiliki kebiasaan memakai pakaian hitam-hitam itu keluar.Â
Dengan terus terang, dia minta supaya Savitri tidak berlama-lama duduk denganku, seorang anak muda yang menurutnya tidak punya masa depan, karena dikaitkan dengan orang tuaku yang tiada pernah kutahu sampai saat itu. Â
Ketika Savitri masih saja enggan berdiri, lelaki yang hanya memiliki anak tunggal itu segera menarik tangan anaknya membawa masuk sambil mengata-ngataiku sebagai anak haram, lelaki lemah, miskin, dan banci!Â
Savitri lalu menangis sejadi-jadinya, sambil memohon supaya ayahnya jangan suka menghina orang. Â Suara pintu kemudian berdebam. Aku terlempar di kesunyian senja yang merangkak malam.
Kemudian berita itu menyebar ke seantero desa.  Malah beritanya menjadi bersayap, ada tambahannya.  Katanya ketika Pak Maksum menarik lengan Savitri masuk  ke dalam rumah, aku pun juga menarik tangan Savitri sebelahnya.  Sehingga kemarahan Pak Maksum memuncak, kemudian aku dijotosnya.  Aku terjengkang ke lantai keramik.  Ketika aku mau membalas dengan bogemku, Savitri menangis menghiba supaya aku tidak membalasnya.Â
Konon, aku kemudian akan diancam dibunuh jika tetap mencoba mendekati Savitri. Â Meski kabar itu tidak benar, tetapi aku diam saja. Â Toh benar atau tidak, kenyataannya hubunganku dengan Savitri tidak lagi berlanjut. Â
Aku menjadi enggan lagi, lebih tepatnya takut melintasi rumah gaya spanyol itu dengan sepedaku. Â Setiap aku pergi mengajar ke SD tempat aku wiyata bakti, aku selalu mengambil jalan memutar. Â Sebenarnya dengan lewat di depan rumahnya, maka aku akan lebih cepat sampai.
"Ayah bilang, mas Bagas tidak mempunyai masa depan? Â Bukankah dia sekarang mengajar di SD, toh nanti kalau ada pengangkatan, ia akan menjadi pegawai negeri?" Suatu ketika kudengar percakapan Savitri dengan ayahnya di ruang tamu. Â Saat itu aku di teras tengah menunggunya keluar.
"Apa yang kau harapkan dari seorang pemuda banci anak tidak jelas juntrungnya itu? Â Sekarang dia wiyata bakti, tapi belum tentu lolos test pegawai negeri, tahu?." Jawab ayah Savitri berapi-api.