Ketika berbicara tentang pesantren, khususnya lembaga pendidikan boarding seperti Pondok Pesantren Modern Muhammadiyah Tijarotul Qur'aniyah (PPMMTQ) di Sukoharjo, peran musyrif dan musyrifah tidak bisa dianggap remeh. Di balik santri-santri yang penuh semangat, ada sekelompok orang yang tanpa lelah memastikan agar mereka mendapatkan pendidikan, bimbingan, dan, tentu saja, kepengasuhan terbaik. Siapa lagi kalau bukan para musyrif dan musyrifah?
Namun, mari kita bicara dengan sedikit humor dan realisme. Musyrif dan musyrifah di pesantren sering kali dianggap sebagai "polisi" yang selalu ada untuk mengawasi dan menertibkan santri. Mulai dari memastikan jadwal ibadah berjalan tepat waktu, hingga memastikan tak ada yang mencoba sembunyi di belakang lemari ketika waktu belajar tiba (ya, selalu ada santri kreatif yang mencari cara!). Tetapi, sesungguhnya, peran mereka jauh lebih besar dari sekadar mengawasi. Mereka adalah guru, pembimbing, mentor, sekaligus orang tua sementara yang memastikan bahwa setiap santri tidak hanya bertumbuh dalam ilmu, tetapi juga dalam aqidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan syariah yang baik.
Musyrif dan Musyrifah: Bukan Hanya Penjaga Disiplin, Tapi Penuntun Akhlak
Mari kita mulai dengan sebuah hadis yang sangat relevan dalam konteks ini. Rasulullah bersabda:
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Para musyrif dan musyrifah adalah pemimpin bagi santri-santri mereka. Mereka memegang tanggung jawab besar dalam membimbing santri, tidak hanya dalam hal akademis, tetapi juga dalam hal spiritual dan moral. Di pesantren, santri tidak hanya belajar ilmu agama dan ilmu dunia, tetapi juga diajarkan bagaimana menerapkan aqidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan syariah dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, mari kita jangan lupa bahwa musyrif dan musyrifah juga manusia biasa. Terkadang, mereka harus menghadapi berbagai kelakuan santri yang mungkin membuat mereka ingin memanjat tembok pesantren dan kabur (tentu saja, ini hanya perumpamaan). Tapi mereka tahu, tugas mereka bukan hanya mengatur jadwal shalat dan belajar, melainkan juga menanamkan nilai-nilai aqidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan syariah dalam diri santri. Itu adalah tugas yang membutuhkan kesabaran, kasih sayang, dan tentu saja sedikit humor untuk tetap waras.
Selain itu, penting untuk diingat bahwa tidak ada yang instan dalam proses mendidik santri. Sama seperti sebuah pohon yang memerlukan waktu untuk tumbuh dari biji menjadi tanaman yang kuat, begitu juga perkembangan akhlak dan spiritual santri. Musyrif dan musyrifah adalah petani yang sabar, menyiram, dan merawat, meskipun hasilnya mungkin tidak terlihat seketika. Tugas ini memerlukan kesabaran dan ketekunan, karena perubahan yang sesungguhnya membutuhkan waktu dan proses yang panjang.
Pesantren Bukan Keranjang Sampah Masalah
Ada sebuah persepsi yang kadang salah tentang pesantren, bahwa tempat ini sering dianggap sebagai solusi terakhir untuk anak-anak yang memiliki masalah di rumah atau sekolah. Ini seperti mengatakan pesantren adalah "keranjang sampah masalah." Anggapan ini sangat keliru. Pesantren bukanlah tempat di mana semua masalah bisa diselesaikan dalam sekejap. Meskipun pesantren adalah lingkungan yang sangat mendukung untuk pembentukan karakter dan moral, tidak berarti pesantren bisa memperbaiki segalanya tanpa usaha dari pihak lain, terutama keluarga.
Musyrif dan musyrifah sering kali dihadapkan pada santri yang mungkin memiliki latar belakang yang kompleks. Namun, tugas mereka bukan untuk "memperbaiki" santri seperti barang rusak, melainkan untuk membimbing mereka dengan pendekatan yang bijaksana, sambil memberikan ruang bagi santri untuk tumbuh dan berubah secara alami. Pesantren bukanlah tempat untuk "membuang" masalah, melainkan tempat untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan.