overthinking telah menjadi salah satu fenomena yang banyak dialami, terutama oleh generasi muda seperti Gen Z. Secara sederhana, overthinking dapat dipahami sebagai pikiran yang berlebih terhadap sesuatu yang belum terjadi. Fenomena ini seringkali muncul ketika seseorang dihadapkan pada kecemasan tentang masa depan, seperti cita-cita, karir, atau bahkan keberuntungan.
Dalam kehidupan yang serba cepat dan penuh tekanan seperti sekarang,
hari ini kita bisa melihat berapa banyak dari kita merasa cemas memikirkan cita-cita, karir, pekerjaan, jabatan, bahkan keberuntungan yang mungkin tidak memihak. Kegelisahan terhadap kegagalan sering kali menyelimuti rencana-rencana yang telah disusun atau yang sudah berjalan. Kita sering kali terlalu sibuk memikirkan kemungkinan buruk sampai melupakan bahwa masa depan dapat dibangun dari apa yang dilakukan saat ini. Maksudnya daripada memikirkan apa yang belum terjadi, kenapa kita tidak berusaha untuk membuat sesuatu itu terjadi. Melalui pernyataan tersebut kita dapat belajar bahwa pentingnya tindakan nyata dibandingkan dengan kekhawatiran yang hanya ada di dalam kepala.
Di era digital ini, tekanan sosial menjadi salah satu pemicu terbesar overthinking. Betul sekali, kemudahan bagi setiap orang untuk mengakses dan mengunggah informasi ke media sosial menjadi salah satu penyebab overthinking. Media sosial, yang sering kali menampilkan kehidupan orang lain yang tampak sempurna, menciptakan perbandingan yang tidak sehat. Saat kita melihat pencapaian orang lain, secara otomatis otak akan membandingkan itu dengan keadaan kita sekarang. Pencapaian-pencapaian orang lain, seperti kesuksesan karir, keberuntungan, atau hubungan romantis, seolah menjadi tolok ukur kesuksesan pribadi. Dalam pikiran, muncul pertanyaan-pertanyaan seperti, "Apakah saya bisa seperti itu?" atau "Mengapa saya belum mencapai itu?" Dari pertanyaan ini dapat menimbulkan imajinasi komparatif antara kita dengan orang lain. Outputnya akan  menimbulkan bias yakni motivasi dan overthinking.
Apabila yang timbul adalah overthinking, maka perbandingan ini menimbulkan rasa minder, memperkuat ketakutan akan kegagalan, dan menambah beban pikiran. Kita merasa harus mengejar sesuatu yang tampaknya jauh di luar jangkauan, padahal setiap individu memiliki jalannya masing-masing.Â
Kita harus sadar bahwa overthinking tidak hanya sekadar menyita waktu, tapi ia juga memengaruhi kesehatan mental dan emosional seseorang. Ketika kita terlalu sering memikirkan apa yang mungkin salah, tubuh merespons dengan stres. Keseimbangan emosi terganggu, semangat berkurang, dan produktivitas menurun. Alih-alih maju, kita justru terjebak dalam stagnasi, kehilangan kesempatan untuk berkembang.Â
Mau sampai kapan kita terus overthinking? Pola pikir ini harus diubah, meskipun butuh usaha dan kesadaran. Sebagai langkah awal, kita perlu menerima bahwa tidak semua hal berada dalam kendali kita. Ketidakpastian adalah bagian dari kehidupan, dan mencoba mengendalikan semuanya hanya akan menambah beban pikiran. Â
Pernahkah kita berpikir daripada terjebak dalam kekhawatiran tentang masa depan, mengapa tidak mengalihkan perhatian pada apa yang bisa dilakukan sekarang? Langkah kecil seperti menyusun rencana, mengasah kemampuan, menyelesaikan pekerjaan yang tertunda, atau membangun kebiasaan positif bisa menjadi cara efektif untuk melawan overthinking. Setiap tindakan yang dilakukan hari ini akan menjadi investasi untuk masa depan yang lebih baik. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H