Integritas dalam kehidupan demokrasi harus menjadi pedoman dalam setiap tahap pelaksanaannya. Refleksi atas pelaksanaan Pilkada 27 November 2024 lalu telah merongorng kembali fungsi pengawasan dalam proses pemilihan calon pemimpin. Integritas dan pengawasan merupakan dua kata yang tak bisa dipisahkan; integritas menjadi "ruh" pengawasan dan pengawasan adalah "tubuh" dari integritas. Pengawasan yang bebas, adil, dan independen menjadi prasyarat agar demokrasi dapat berjalan sebagaimana mestinya. Namun dalam praktiknya kekuasaaan terkadang mengangkangi independensi sehingga demokrasi seolah tameng dari kebusukan kekuasaan itu sendiri. Tantangan sering kali muncul dari berbagai sisi, termasuk potensi tekanan atau kompromi yang dapat memengaruhi independensi pengawas pemilu.
Dalam kehidupan demokrasi, pengawasan pemilu adalah aspek penting untuk memastikan proses berlangsung secara transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Pengawas pemilu diharapkan menjadi figur yang menjunjung tinggi netralitas dan tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu. Netralitas ini adalah bagian dari tanggung jawab moral dan etika dalam pelaksanaan pengawasan.
Namun, menjaga netralitas seringkali dihadapkan pada gesekan kepentingan, baik internal maupun eksternal. Situasi yang melibatkan tekanan atau kesepakatan informal dalam bentuk apapun dapat memengaruhi sikap pengawas, hal ini merupakan salah satu bentuk tantangan etis. Bukan hanya mencederai prinsip pengawasan yang independen tetapi juga berpotensi mengurangi kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Dalam pelaksanaan pengawasan pemilu, struktural organisasi yang mendukung independensi pengawas menjadi faktor krusial. Apabila terdapat indikasi bias dalam struktur pengawas, baik secara individual maupun kolektif, hal ini dapat mengarah pada penyimpangan dari prinsip-prinsip dasar demokrasi. Situasi ini dapat memunculkan berbagai persoalan seperti gesekan kepentingan kelompok atau propaganda kolektif untuk menyetir suara rakyat terhadap calon tertentu, bahkan pengabaian terhadap pelanggaran tertentu.
Untuk merespon potensi bias ini transparansi dalam setiap proses mulai dari seleksi hingga pelaksanaan tugas harus menjadi prioritas. Pengawasan internal yang efektif juga diperlukan untuk meminimalkan risiko penyimpangan. Selain itu, penting untuk menanamkan pemahaman mendalam kepada setiap pengawas mengenai esensi dari tugas yang diemban, yaitu melayani kepentingan publik, bukan kelompok tertentu.
Hegemoni kekuasaan sangat kental dalam proses pelaksanaan pemilu. Menanamkan nilai-nilai integritas kepada pengawas masih belum cukup. Harus ada semacam intuisi politik yang dipegang oleh pengawas sebagai filter bahwa pilihan politik adalah soal nurani dan tidak bisa digoyahkan oleh kepentingan atau iming-iming apapun.
Di lapangan, pengawas sering kali dihadapkan pada dilema etis, di mana mereka harus memilih antara menjaga integritas pribadi atau mengikuti tekanan dari pihak-pihak tertentu. Dalam konteks akademik, dilema ini dapat dianalisis melalui pilihan rasional yang menjelaskan bagaimana individu membuat keputusan berdasarkan pertimbangan manfaat dan risiko.
Dalam pengawasan pemilu, keputusan yang diambil seorang pengawas tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri tetapi juga pada kredibilitas proses pemilu tempatnya bertugas. Oleh karena itu, penting bagi setiap masyarakat untuk terlibat dalam pengawasan agar mereka memiliki komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang kuat.
Salah satu solusi untuk menghadapi tantangan ini adalah dengan meningkatkan kapasitas dan kesadaran etis para pengawas pemilu. Pendidikan berkelanjutan tentang pentingnya netralitas, integritas, dan transparansi dalam pengawasan harus menjadi bagian dari pelatihan yang diberikan kepada setiap pengawas.
Selain itu, penguatan kapasitas organisasi pengawas pemilu juga harus menjadi fokus. Dengan adanya mekanisme pengawasan internal yang ketat dan dukungan dari sistem yang transparan, pengawas dapat bekerja tanpa tekanan dan intervensi dari pihak mana pun.