Sebagai individu terkadang kita pernah merasakan perasaan lebih hebat dari individu lain dalam hidup kita. Namun perasaan demikian kadangkala membuat orang lain tidak nyaman dengan cara kita bersikap. Ataupun sebaliknya, kita merasa orang lain lebih hebat dari kita  terhadap suatu hal dan sampai pada titik dimana kita sudah malas menghadapi tingkah lakunya. Perilaku superior tersebut dinamakan superiority complex. Menurut ahli psikologi bernama Alfred Adler, superiority complex adalah sebuah sikap dimana ketika seseorang mempercayai kalau ia lebih baik dibandingkan orang lain. Orang yang memiliki sifat seperti ini cenderung merasa berlebihan mengenai diri mereka sendiri dan percaya kemampuan dan kesuksesannya diatas orang lain.
Fenomena superiority complex terjadi dalam sebuah keluarga ketika suami dan istri tidak merasa saling membutuhkan, mengebiri kelebihan dan memperbesar kekurangan salah satu pihak. Tentu hal ini tidak kita inginkan, namun jika sikap ini muncul maka yang satu merasa memiliki andil lebih sedangkan pihak lain termarginal atau terpinggirkan. Sehingga akan melahirkan disparitas dan membentuk sikap apatis antara keduanya. Salah satu aspek penyebab munculnya sikap superior ini antara lain, gaji yang lebih besar, usia yang lebih tua, merasa lebih punya pengalaman dan lebih menguasai anggota keluarga yang lain. Pada era modern seperti sekarang ini, kerap kita jumpai suami dan istri yang keduanya sama-sama berkarir diluar rumah. Ini memang untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan hidup yang semakin kompleks, juga sebagai aktualisasi dan pengembangan diri. Tanpa disadari atau tidak hal tersebut bisa menjadi boomerang sebab bisa memunculkan persaingan internal jika tidak dimanage dengan baik. Kesibukan mengejar karir suami dan istri yang secara kasatmata tampak wajar. Namun bisa memunculkan masalah apabila tidak disikapi dengan bijak dan tepat.
Oleh karena itu sikap santun, tawadhu, dewasa dan bijak harus menjadi pegangan dasar suami dan istri dalam menjalani bahtera rumah tangga. Apapun yang terjadi pada sebuah komunitas keluarga, yang terpenting adalah sikap saling memahami dan menghargai, tidak ada yang merasa dominan satu dengan yang lain. Namun harus menggayuh menjadi sebuah simponi agar menjadi irama yang merdu meski menabuh dan menghasilkan bunyi yang berbeda. Dari irama yang merdu tersebut akan menjadi stabilisator dalam kominutas keluarga. Sehingga keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah bisa terwujud dalam kondisi apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H